Entah
apa yang dirasakannya saat itu. Marah. Sakit hati. Sungguh semuanya terasa
hampa. Sia-sia perjuangan dan pengorbanannya selama ini untuk menjadi sosok
kakak yang bisa di jadikan teladan bagi ke dua adiknya. Betapa tidak, setahun ini
ia telah berjuang agar bisa mempersembahkan yang terbaik untuk membahagiakan
kedua orang tuanya sekaligus menampar secara halus kedua adiknya untuk giat
belajar dan berprestasi.
Setelah hatinya puas meluapkan
segala kekesalan secara tersirat dalam pembicaraannya bersama ibu dan kedua
adiknya di ruang tv, ia langsung bergegas memisahkan diri mencari tempat yang
pas untuk melampiaskan segumpal kekecewaan yang menyesakkan dadanya. Sejenak ia
tertegun. Menyentuh dada kirinya dan menundukkan kepala. Tes! Bulir-bulir air
matanya berjatuhan di atas ibu jari kakinya. Terbayang olehnya sikap adik
pertamanya Hanif yang mengacuhkan
permintaannya untuk memanfaatkan waktu setelah shalat magrib dengan membaca surat cinta dari Allah (mengaji). Dia
mencoba merayu. Tetap saja di acuhkan. Padahal kemarin malam ia baru saja
berbicara empat mata dari hati ke hati dengan Hanif. Memberikan pengertian dan
pemahaman tentang makna kehidupan serta cara menyikapi dunia yang kejam ini. guna
memperhalus jiwa dan menajamkan mata hati adiknya itu.
Sekarang hanif menginjak usia 14
tahun, wajar saja Heni sangat prihatin terutama terhadap akhlak hanif yang
belum juga banyak berubah setelah di kabulkan permintaannya untuk mondok di
pesantren pilihannya. Heni masih ingat jelas ketika ia pulang sekolah adiknya
hanif itu berlari mengabarkan kepadanya bahwa hanif ingin pindah ke pesantren.
Dengan mata berkaca-kaca Heni memeluk erat tubuh gempal adiknya saat itu. Ya,
sudah hampir dua tahun lalu adiknya berada di pondok pesantren bermodalkan niat
untuk berubah menjadi anak yang baik! Memang sejauh ini sudah ada perubahan
pada diri Hanif, namun dari sudut pandang Heni adiknya itu belum bisa menjadi
seperti yang dia dan kedua orang tuanya harapkan. Bayangkan! Dengan modal niat
berubah menjadi anak baik, mendesak orang tua untuk segera memindahkannya ke
pondok, dan hampir dua tahun di pondok
untuk sholat saja masih harus di komandani. Bukankah itu terlalu! Jauh
sekali untuk memberikan kebanggaan pada orang tua dengan prestasi-prestasi di
sekolah.
Heni termenung dan menyapu matanya
yang basah. Demi menggapai cita-citanya heni rela merantau di luar kota seorang
diri guna menuntut Ilmu dan mempersembahkan yang terbaik untuk kedua orang
tuanya. Ia bertekad untuk menjadi seorang hafiz Al- qur’an di samping kuliah.
Ia telah berhasil mendapatkan IP dengan nilai 4. Dan mendapat Runer Up 1 dalam
seleksi Duta Mahasiswa tingkat provinsi, hingga prestasinya itu di muat di
Koran-koran lokal. Dan masih bnyak lagi prestasi-prestasi lainnya yang telah ia
raih selama setahun masa perkuliahannya.
Apakah masih belum cukup semua itu
untuk di jadikan contoh bagi kedua adik-adik yang sangat ia cintai itu?
sungguh, malam itu kekecewaannya terhadap adiknya Hanif membuat heni merasa
tidak berhasil menjadi seorang kakak. Namun kekesalan itu tidak berlangsung
lama. Tetap saja ia harus bertindak tegas terhadap adik-adiknya itu. Ia belum
juga mau buka mulut, ketika adik bungsunya Hakim mencoba mendekatinya dengan
cara yang cukup cerdas menurut Heni. Karena memang adik bungsunya itu anak yang
cerdas. Ia selalu juara kelas dan selalu kelihatan fresh plus energic. Hakim
ini memang humoris. Jujur saja, setiap apa yang keluar dar mulutnya itu bisa
membuat orang lain tertawa, tersenyum bahkan takjub dengan pengetahuannya yang
luas. Maklumlah setiap harinya bergelut dengan acara televisi yang bisa menambah
wawasan semisal On The Spot, Cerita sejarah dan banyak lagi.
Heni terasa lapar, sehingga membuat
ia pergi ke dapur dan menggoreng telur lalu memotong wortel mentah untuk di
jadikan lalapan. Mendengar heni memasak di dapur Hakim pun bergegas bangkit
dari kasurnya yang terhampar di depan tv.
“Kamu masak apa
kak?” tanyanya sambil memakan nasi goreng buatan heni tadi siang.
“Ambil sendiri
sana!” dengan nada setengah ngambek. Heni terus saja menyelesaikan masakkannya
dan menyantapnya di meja makan. Begitu juga Hakim yang tidak mau kalah dengan
kakaknya ia juga menggoreng telur dan menyantap makanan di samping kakaknya
sambil menggoda.
“Kak.. kakak
marah pada kami ya?” bujuknya sambil menikmati makanan. Diam tak menjawab.
Tanpa berbicara sedikitpun heni langsung menghabiskan makanannya.
Dalam hati heni merasa bersalah
juga, tapi tetap ia tidak mau kelihatan seperti minta di sapa oleh Hanif yang
sedang asik sms dan menonton sinetron berbaring di depan televisi. Sampai pada
akhirnya Heni ke kamar mandi untuk mengggosok gigi ia meminta Hakim untuk
membersihkan giginya juga setelah makan.
“Hakim..gosok
giginya sebelum tidur sayang!” pintanya dengan tegas. Meskipun ia menyisipkan
kata sayang di situ. Heni masih tidak mau menyapa Hanif, itu salah satu caranya
untuk mendidik adiknya hingga pada akhirnya hanif memperbaiki sikapnya dan
menuruti arahan dari Heni kakaknya yang tidak mau adik-adiknya lalai dari
mengingat Allah Azza Wa Jalla.
“Tidak aku ciptakan Jin dan Manusia kecuali
untuk beribadah kepada-Ku”
(Q.S. Adz-zariat : 56)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar