Kamis, 19 April 2012

Kecewa



Entah apa yang dirasakannya saat itu. Marah. Sakit hati. Sungguh semuanya terasa hampa. Sia-sia perjuangan dan pengorbanannya selama ini untuk menjadi sosok kakak yang bisa di jadikan teladan bagi ke dua adiknya. Betapa tidak, setahun ini ia telah berjuang agar bisa mempersembahkan yang terbaik untuk membahagiakan kedua orang tuanya sekaligus menampar secara halus kedua adiknya untuk giat belajar dan berprestasi.
            Setelah hatinya puas meluapkan segala kekesalan secara tersirat dalam pembicaraannya bersama ibu dan kedua adiknya di ruang tv, ia langsung bergegas memisahkan diri mencari tempat yang pas untuk melampiaskan segumpal kekecewaan yang menyesakkan dadanya. Sejenak ia tertegun. Menyentuh dada kirinya dan menundukkan kepala. Tes! Bulir-bulir air matanya berjatuhan di atas ibu jari kakinya. Terbayang olehnya sikap adik pertamanya Hanif  yang mengacuhkan permintaannya untuk memanfaatkan waktu setelah shalat magrib dengan  membaca surat cinta dari Allah (mengaji). Dia mencoba merayu. Tetap saja di acuhkan. Padahal kemarin malam ia baru saja berbicara empat mata dari hati ke hati dengan Hanif. Memberikan pengertian dan pemahaman tentang makna kehidupan serta cara menyikapi dunia yang kejam ini. guna memperhalus jiwa dan menajamkan mata hati adiknya itu.
            Sekarang hanif menginjak usia 14 tahun, wajar saja Heni sangat prihatin terutama terhadap akhlak hanif yang belum juga banyak berubah setelah di kabulkan permintaannya untuk mondok di pesantren pilihannya. Heni masih ingat jelas ketika ia pulang sekolah adiknya hanif itu berlari mengabarkan kepadanya bahwa hanif ingin pindah ke pesantren. Dengan mata berkaca-kaca Heni memeluk erat tubuh gempal adiknya saat itu. Ya, sudah hampir dua tahun lalu adiknya berada di pondok pesantren bermodalkan niat untuk berubah menjadi anak yang baik! Memang sejauh ini sudah ada perubahan pada diri Hanif, namun dari sudut pandang Heni adiknya itu belum bisa menjadi seperti yang dia dan kedua orang tuanya harapkan. Bayangkan! Dengan modal niat berubah menjadi anak baik, mendesak orang tua untuk segera memindahkannya ke pondok, dan hampir dua tahun di pondok  untuk sholat saja masih harus di komandani. Bukankah itu terlalu! Jauh sekali untuk memberikan kebanggaan pada orang tua dengan prestasi-prestasi di sekolah.
            Heni termenung dan menyapu matanya yang basah. Demi menggapai cita-citanya heni rela merantau di luar kota seorang diri guna menuntut Ilmu dan mempersembahkan yang terbaik untuk kedua orang tuanya. Ia bertekad untuk menjadi seorang hafiz Al- qur’an di samping kuliah. Ia telah berhasil mendapatkan IP dengan nilai 4. Dan mendapat Runer Up 1 dalam seleksi Duta Mahasiswa tingkat provinsi, hingga prestasinya itu di muat di Koran-koran lokal. Dan masih bnyak lagi prestasi-prestasi lainnya yang telah ia raih selama setahun masa perkuliahannya.
            Apakah masih belum cukup semua itu untuk di jadikan contoh bagi kedua adik-adik yang sangat ia cintai itu? sungguh, malam itu kekecewaannya terhadap adiknya Hanif membuat heni merasa tidak berhasil menjadi seorang kakak. Namun kekesalan itu tidak berlangsung lama. Tetap saja ia harus bertindak tegas terhadap adik-adiknya itu. Ia belum juga mau buka mulut, ketika adik bungsunya Hakim mencoba mendekatinya dengan cara yang cukup cerdas menurut Heni. Karena memang adik bungsunya itu anak yang cerdas. Ia selalu juara kelas dan selalu kelihatan fresh plus energic. Hakim ini memang humoris. Jujur saja, setiap apa yang keluar dar mulutnya itu bisa membuat orang lain tertawa, tersenyum bahkan takjub dengan pengetahuannya yang luas. Maklumlah setiap harinya bergelut dengan acara televisi yang bisa menambah wawasan semisal On The Spot, Cerita sejarah dan banyak lagi.
            Heni terasa lapar, sehingga membuat ia pergi ke dapur dan menggoreng telur lalu memotong wortel mentah untuk di jadikan lalapan. Mendengar heni memasak di dapur Hakim pun bergegas bangkit dari kasurnya yang terhampar di depan tv.
“Kamu masak apa kak?” tanyanya sambil memakan nasi goreng buatan heni tadi siang.
“Ambil sendiri sana!” dengan nada setengah ngambek. Heni terus saja menyelesaikan masakkannya dan menyantapnya di meja makan. Begitu juga Hakim yang tidak mau kalah dengan kakaknya ia juga menggoreng telur dan menyantap makanan di samping kakaknya sambil menggoda.
“Kak.. kakak marah pada kami ya?” bujuknya sambil menikmati makanan. Diam tak menjawab. Tanpa berbicara sedikitpun heni langsung menghabiskan makanannya.
            Dalam hati heni merasa bersalah juga, tapi tetap ia tidak mau kelihatan seperti minta di sapa oleh Hanif yang sedang asik sms dan menonton sinetron berbaring di depan televisi. Sampai pada akhirnya Heni ke kamar mandi untuk mengggosok gigi ia meminta Hakim untuk membersihkan giginya juga setelah makan.
“Hakim..gosok giginya sebelum tidur sayang!” pintanya dengan tegas. Meskipun ia menyisipkan kata sayang di situ. Heni masih tidak mau menyapa Hanif, itu salah satu caranya untuk mendidik adiknya hingga pada akhirnya hanif memperbaiki sikapnya dan menuruti arahan dari Heni kakaknya yang tidak mau adik-adiknya lalai dari mengingat Allah Azza Wa Jalla.
 “Tidak aku ciptakan Jin dan Manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku”
 (Q.S. Adz-zariat : 56)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar