"I Want To Be a Writer", Ya kalimat itulah yang terbesit di hatiku saat pertama kali bertatap muka dengan dosen "unik" itu. Masih sangat jelas dalam ingatan ketika aku bertanya-tanya tentang sosok yang duduk di depan kelas kala itu. Aku tahu kami para mahasiswa BKI saat itu sedang masuk mata kuliah Bahasa Indonesia. Laki-laki berkulit putih itu tidak sama sekali mengenalkan diri.
Yah, wajar saja karena di jadwal mata kuliah itu sudah tertera masing-masing nama dosen pengampu. Aku yang duduk di pojok kelas paling belakang masih terheran-heran dengan sosok gesit yang sedang berbicara itu. Setengah berbisik aku menanyakan tepatnya berdiskusi dengan teman yang duduk di sampingku "Dosen ini muslim bukan?" mataku masih tertuju pada laki-laki dengan postur tegap yang sejak awal menciptakan sejumlah pertanyaan di kepalaku. Pasalnya, beliau menggunakan pakaian Tiong Hoa, ditambah lagi kata-katanya yang menyebut-nyebut Allah dengan sebutan Tuhan semakin membuatku penasaran. Karena saking banyaknya pertanyaan yang menyeruak dalam hatiku, aku terpaksa harus menyimpannya, mau bertanya rasanya tidak mungkin. Apalagi mau bertanya umurnya, wah malu rasanya. Salah satu pertanyaan yang membuatku setengah geli terhadap diriku sendiri itu adalah "Bapak itu masih bujang apa sudah berkeluarga?". Astaghfirullah... aku hanya bisa beristghfar untuk mengunci erat arsip pertanyaan yang menjamur dalam hitungan detik saat itu.
Yah, wajar saja karena di jadwal mata kuliah itu sudah tertera masing-masing nama dosen pengampu. Aku yang duduk di pojok kelas paling belakang masih terheran-heran dengan sosok gesit yang sedang berbicara itu. Setengah berbisik aku menanyakan tepatnya berdiskusi dengan teman yang duduk di sampingku "Dosen ini muslim bukan?" mataku masih tertuju pada laki-laki dengan postur tegap yang sejak awal menciptakan sejumlah pertanyaan di kepalaku. Pasalnya, beliau menggunakan pakaian Tiong Hoa, ditambah lagi kata-katanya yang menyebut-nyebut Allah dengan sebutan Tuhan semakin membuatku penasaran. Karena saking banyaknya pertanyaan yang menyeruak dalam hatiku, aku terpaksa harus menyimpannya, mau bertanya rasanya tidak mungkin. Apalagi mau bertanya umurnya, wah malu rasanya. Salah satu pertanyaan yang membuatku setengah geli terhadap diriku sendiri itu adalah "Bapak itu masih bujang apa sudah berkeluarga?". Astaghfirullah... aku hanya bisa beristghfar untuk mengunci erat arsip pertanyaan yang menjamur dalam hitungan detik saat itu.
Yup, kembali lagi dengan kalimat I Want To Be a Writer.Ya, dosen pengampu mata kuliah sekaligus bimbingan karya tulis ilmiah yang membuatku terkesima itu telah merubah cara pandangku sebagai seorang mahasiswa. Benar, kami semua yang ada di ruangan itu adalah mahasiswa. Apa ciri-ciri mahasiswa? menjadikan Membaca dan menulis sebagai santapan yang mengenyangkan! "Mahasiswa itu wajib membaca dan menulis, kalau tidak mau membaca dan menulis jangan jadi mahasiswa". Begitu ungkap sang dosen yang penuh semangat itu. Setiap motivasi yang di siramkannya kepada kami membuat semangatku tumbuh subur. Beliau melatih kami menulis dengan cara memberikan tugas setiap minggunya, dalam satu pekan kami bertatap muka sebanyak dua kali, otomatis tugas itu membutuhkan semangat dua kali lipat untuk mendapatkan hasil maksimal. Uniknya setiap kali pertemuan beliau lebih menitik beratkan utuk memupuk semangat mahasiswanya, "Membangkitkan dan memupuk semangat kalian itu jauh lebih penting dari pada saya harus berceramah berjam-jam di depan namun tidak berbekas dalam hati kalian" ujarnya. Memang benar adanya apa yang dikatakan beliau, itulah yang menyebabkan aku untuk selalu berusaha melatih diri serta memelihara semangat menulis supaya bisa menghasilkan karya nyata. Beliaulah yang menginspirasiku untuk terus berkarya. Aku yang awalnya tidak pernah berfikir ingin menjadi seorang penulis merasa sangat bahagia bisa dipertemukan dengan beliau. Meskipun dua bulan sebelum aku menjadi mahasiswi STAIN Pontianak telah membuat cerpen dan itu pun aku lakukan hanya untuk iseng-iseng saja. Ternyata setelah aku menyerahkan kepada beliau dalam bentuk tugas, beliau merespon baik dan surprise cerpenku dimuat di Borneo Tribun untuk pertama kalinya! Karyalah yang membuat kita ada dan di luar sana orang tengah berlomba-lomba meraih kesuksesannya. Yup, always keep fight! Terimakasih banyak Pak Yusriadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar