Selasa, 17 September 2013

Pemuda Idaman Zaman



Enam Hari
Oleh: Nurhani Gusrini
“Sungguh, dia hafal mahar yang aku mau! Ar-Rahman & As-Saff!”
            Siang itu cuaca mendung, aku masih beritikaf di Mujahidin. Handphone genggamku bergetar. “Mba, gimana, sudah dapat aktornya?” Aku langsung fokus dengan agenda hari ini. Syuting film! “Sebentar, mba lagi usaha. Mhon doanya.” Balasku.

            Allahuakbar,Allaaahuakbar. Adzan Zuhur berkumandang, dan seluruh jama’ah bersiap-siap merapat menghadap Sang Pemilik Kehidupan. Lagi, sms masuk. “Gimana mba, Ana dan teman-teman masih siap-siap untuk keberangkatan kita ke lokasi syuting.”
“Iya sabar ya sayang, mba sudah coba hubungi semua teman dan kerabat mba. Belum juga ada yang bisa menggantikan aktor kita.”
Seketika aku teringat dengan laki-laki yang tadi pagi menelponku dengan nada marah, gara-gara aku menyebutnya dengan panggilan “antum”. Bissmillah, “Assalamu’alaikum, ...”
            Cuaca masih mendung. Aku bergegas menuju tempat yang sudah dijanjikan untuk start bersama. Pemuda yang menyanggupi untuk membantu kelompok filmku itu sudah lebih dulu datang, wajahnya serius. Diam. Aku memang sudah lama kenal ikhwan itu, hanya saja baru kali ini interaksi langsung dengannya. Itupun karena mendadak. “Sudah lengkap semua peralatannya Ca?” aku melempar pandangan dan pertanyaan kepada Caca. “Siap mba, yuk berangkat!”
            “Ada apa ukhti?”
“Rantainya lepas, kami nyaris jatuh” Jawabku sedikit cemas. Rantai sepeda motorku lepas, aku dan temanku si cainis cantik memutuskan untuk meminta empat orang yang lain menunggu di tempat syuting. Berhubung kami mengejar waktu yang begitu mepet. “Halo kak, motor adek sedang dibengkel. Teman-teman sudah adek suruh datang duluan ketempat kakak mempersiapkan semuanya. Aktor dadakan kami hanya bisa sampai jam 14.30 wib. Ada agenda lain  yang harus dikerjakannya.”
“Baiklah dek, hati-hati dijalan ya.”

            “Sudah dek,” Suara abang bengkel menyadarkan kami yang sedang duduk menunggu. “Oh, iya bang. Berapa?” .... Kamipun langsung meluncur ke TKP. Belum lima menit, syuting sudah dilmuali. “Kamera...Ation!” Sutradara gadungan memberi aba-aba. Iyulah pertemuan singkatku dengannya. Entah apa yang membuatnya sungguh tidak terima ketika aku membalas pertanyaannya dengan sebutan antum. “Tidak sopan!” tegasnya. Iya aku memang lebih mudah dari dia, tapi aku juga pounya alasan kuat untuk tidak memangggilknya dengan sebutan “Abang.”
            Tidak mudah bagiku menghapus bayangnya. Setiap aktifitasku selalu teringat dengannya. “Astaghfirullah...” kalimah itu yang menguatkanku. Memang, aku yang sejak setahun lalu sedang menanti jodoh, setelah sujud panjangku begitu juga aku dipertemukan dengannya. Dua hari itu memang benar-benar membuatku layaknya orang yang sedang kasmaran. Nyaris tiga kali sehari seperti minum obat, telpon genggamku bergetar. “Assalamu’alaikum, “ Telpon dari pemuda tampan bergelar ikhwan itu yang selalu membuatku sibuk menjawab pertanyaan yang diajukannya tidak lupa promosi usahanya. Aku masih menggap itu hal yang wajar ketika pemuda soleh itu bertanya lokasi penyewaan ruko-ruko yang berderet rapi dikampusku. Aku tahu dia seorang enterpreinur yang baik, mantan qiyadah dan juga sangat menjaga diri.
            Tiga hari kemudian, aku merasakan sesuatu yang sangat berbeda. Ayahku menelpon sekaligus merestui jika ada yang akan datang mengkhitbah, nenekku sedang sakit parah, ingin melihat cucu kesayangannya ini bersanding dipelaminan. Allahuakbar, Ikhwan itu menyatakan perasaannya padaku dan akan datang kerumahku untuk mengkhitbah. Dalam sujud panjang sepertiga malam “Rabb.. Hamba mohon petunjukmu. Jika ini jalan yang terbaik, maka mudahkanlah.” Pintaku. Aku dan dia memutuskan untuk langsung meminta saran dari Murabbi kami masing-massing.
            Aku pulang, mempersiapkan segala sesuatunya. Dan dia akan menyusul esok hari setelah mendapat izin dari murabbinya.
 “Afwan, antum hafal Ar-rahman?” “InsyaAllah.”
“As-Saff?”
“ InsyaAllah”
“Coba, tanpa melihat mushaf!” pintaku. Dia langsung melantunkan ayat cinta itu, “Allaaahuakbar” lirihku sambil mematikan telpon.  kelopak mataku tak mampu membendung derasnya aliran air bening yang berjatuhan di pipi.
***

                 Hari keenam. Cita-citanya ingin menjadi Hafiz, dan akan terbang tahun depan ke Jakarta, dan memiliki syarat yang sangat kongkret yakni dengan status single, belum menikah. Membuat kami harus mengikhlaskan keadaan. Dan Mengakhiri proses yang sakral, mengharap keridhoanNya dalam menyempurnakan Dienullah. Menikah. Seberapapun indahnya rencana kita, Jauh lebih indah rencana Allah untuk kita.

1 komentar: