My First Book

Ucapan Terimakasihku
Terimakasih
yang tiada henti atas segala limpahan rahmat dan kasih sayang-Mu wahai Tuhan
Semesta Alam, yang ruhku ada ditangan-Nya, dan hatiku selalu dalam
genggaman-Nya. Sungguh, tiada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan-Mu ya
Rabbi. Tanpa-Mu, diri ini bukanlah apa-apa, dan tanpa-Mu hamba yang dhoif ini
bukanlah siapa-siapa di bumi-Mu yang fana. Teruntuk Ibundaku tercinta, anandamu
ini memanglah tak bisa merangkai kata seindah panorama alam. Jika ada kata
tertinggi selain ucapan terimaksih maka kata itulah yang akan ananda ucapkan
kepada wanita tangguh dan luar biasa (Ibu). Terimakasih Ibu…dengan segenap jiwa
ragamu terlahirlah anandamu kedunia ini. Tertimakasih Ibu… yang telah merawat
dan membesarkan anandamu ini dengan penuh kesabaran dan cinta. Ayah…terimakasih
telah menjaga dan mendidik ananda, terimakasih atas semua nasihat yang
bermanfaat. Ayah, ananda tau perjuangan dan pengorbananmu untuk memenuhi
kebutuhan anak istrimu. Engkau adalah pahlawan dalam kehidupan kami ayah,
engkaulah teladan bagi malaikat-malaikat kecilmu.
“Dek
Akbar, masih semangat kan sayang?!” Kita sama-sama berjuang mencari ilmu Allah
ya? Jangan lembek, laki-laki itu harus kuat..!! Harus tegar ya adekku. Dek
sohib, belajar yang baik ya sayang, bantu kakak dan abangmu dengan kau juga
harus semangat mencari ilmu dan berbakti kepada Ayah ibu ya. Dek Sari, terus
ukir prestasi ya sayang. Makasih banyak telah rela membantu keluarga kaklong
dan ikut berjuang bersama. Salam sukses ya! Sahabatku terkasih… maksih banyak
ya kakde Dian yang selama ini mendengar keluh kesah along..meskipun kita jauh
namun hati kita selalu dekat, iya kan? Masih ingatkah kau saat kita tertawa
bersama, menangis bersama, sungguh aku merindukanmu sahabatku.
Terimakasih
kepada guru-guruku yang telah bersabar mendidik dan mengajarkanku sesuatu yang
aku tidak tahu sebelumnya, kalianlah pahlawan tanpa tanda jasa. Teman-temanku
yang tidak bisa ku sebutkan namanya satu per satu, makasih banyak telah
membantuku dan rela mengantarku pulang jika sedang jatuh sakit? Masih ingatkah
kalian? Hanya Allah yang bisa membalas kebaikan kalian semua. Kerabat dekatku
yang juga tidak bisa ku uraikan satu per satu makasih banyak telah memberikan
warna dalm kehidupanku.
Tidak
lupa aku ucapkan kepada kak Agus yang telah rela datang hujan-hujan ke kos
dengan kecelakaan kecil (jatuh dari motor) untuk meluangkan waktunya bercerita
kembali pengalaman masa kecilku bersamanya. Makasih ya kak… along sayang kakak!
Dan terimakasih tiada tara kepada kak Maisuri yang juga merupakan mentorku,
telah rela mengorbankan waktunya membantuku mengusahakan program page maker
demi terselesaikannya buku pertamaku ini. Syukron illaikh ya ukhti. Dan ibuku
tercinta yang telah meluangkan waktunya juga untuk mengulang cerita hidup 18
tahun silam. Love you so much,mom. Pada Pak yusriadi sekaligus Dosen Bahasa
Indonesia dan Bimbingan KTI, yang sudah mengajarkanku tentang menulis makasih
banyak pak, bermanfaat sekali! Sip kan pak? Hehe. Untuk bang Mahmud yang sudah
mengorbankan waktunya dijam kerja sore itu, hehe syukron illaikh ya akhi.
Sungguh
aku mencintai kalian karena Allah SWT. Meskipun saat ini raga belum bisa bersua
namun kalian akan selalu hidup dalam sanubariku, menjadi kayu kering yang
selalu membakar semangatku. Wallahi ana uhibbukum fillah
Fase Telur si Kupu-kupu
Pada
fase telur berarti dia merupakan zigot,
walaupun dia diam tapi dia sudah punya potensi untuk menjadi makhluk hidup.
Artinya seorang anak yang dilahirkan maka oleh Allah disertakan potensi-potensi
yang dimiliki (bakat). Bisa di asumsikan ke hadis “kulu mauludin yuladun
alalfitrah” setiap yang dilahirkan berada dalam fitrah, Secara potensi. Namun
secara ekplisit belum ada apa-apanya.
Detik-detik Kelahiranku
Delapan bulan kehamilan ibuku,
beliau pulang ke Pemangkat menunaikan pesan ibundanya supaya melahirkan di
samping ibunda tercinta. Akhirnya ibuku ditandu oleh masyarakat melewati
perjalanan naik turun bukit dengan berjalan kaki yang memakan waktu selama 12
jam perjalanan dari desa Suak Medang Kecamatan Senaning Kabupaten Sintang
menuju desa Empura. Kenapa bisa berjalan kaki dalam jarak yang sangat jauh itu?
Apa tidak ada penghambat jalan? Karena waktu itu adalah musim kemarau, Uniknya
di kawasan tersebut ada anak sungai yang apabila musim kemarau anak sungai
tersebut kering sehingga bisa dilalui dengan jalan kaki. Di pesisir Empura,
disitulah Ayah dan Ibuku berpisah. Ayah tetap tinggal di Empura melaksanakan
kewajibannya sebagai seorang Perawat sedangkan ibuku yang saat itu didampingi oleh pamannya tetap
melanjutkan perjalanan mereka menuju kota Pemangkat.
15
Agustus 1993 silam terlahirlah bayi dari rahim seorang Ibu yang tangguh, yang
diberi nama Nurhani Gusrini. Jauh sebelum aku dilahirkan, ayah telah mempersiapkan
nama untuk anak pertamanya, tapi nama tersebut untuk anak laki-laki yaitu Wally
Akbar Al-hafiz, sekarang nama itu telah menjadi nama Adik pertama ku yang
jaraknya lima tahun dari ku. Kelahiranku tentu saja disambut dengan suka cita
oleh keluarga besar. Ya, aku anak pertama dari pasangan Bapak Hanizan dan Ibu
Nuryani. Bayi itu berkulit sawo matang, sampai-sampai ada seorang suster yang
bertanya kepada ibuku “ Bapaknya hitam ya bu?”, “tidak juga sus”, jawab ibuku.
Pasalnya ibuku kulitnya agak putih. Konon, penyebab kulit hitamku adalah ibu
yang mengidamkan buah salak dan maram saat mengandungku. Begitulah kira-kira
orang menafsirkannya.
Aku
biasa disapa Bunga, ya itu adalah nama kecilku pemberian Nenek tercinta. Bahkan
sampai sekarang kebanyakan orang tidak
tahu nama asliku mereka hanya tahu namaku Bunga, banyak yang
bertanya-tanya dengan nama panggilanku itu karena sangat jauh dari nama
panjangku. Kata nenek supaya tahan panas dan hujan saat dibawa pulang ke
Sintang.
Desa Bersejarah
Menjelang
usiaku 3 bulan ayahku pun datang menjemput aku dan ibuku untuk dibawa pulang ke
Sintang, tempat tugas Ayah dan Ibuku di daerah merah nun jauh disana ( Suak
Medang). Daerah perbatasan Malaysia yang apabila berjalan kaki dari Desa Suak
Medang hanya memerlukan waktu 2 jam saja bisa sampai ke negeri Jiran tersebut.
Wah.. menyambut kedatanganku masyarakat setempat sangat gembira, aku disambut
dengan penuh suka cita disana. Pasalnya Ayahku adalah Perawat yang sangat di
sayangi oleh penduduk setempat. Dulu, jauh sebelum Ayahku ditugaskan disana ada
sebuah Puskesmas yang nyaris dibakar oleh masyarakat karena tidak ada petugas
yang mau diamanahkan untuk bertugas di Desa tersebut. Jadi ketika kedua Orang
tuaku datang untuk menjalankan kewajiban mereka sehingga masyarakat disana
sangat sayang dengan kedua orang tuaku dan tidak mau ditinggalkan oleh
mereka. Sampai terkadang mendengar kedua
orang tuaku ingin pindah tugas. Mereka terlebih dahulu mengirim surat kepada
Dinas Kabupaten supaya Orang tuaku tetap dipertahankan di Desa mereka.
Rupanya tempat kerja kedua orang
tuaku itu merupakan daerah yang masyaraktanya masih sangat sederhana. Masyakatnya tidak berpakaian, tapi hanya
menggunakan celana pendek. Kalaupun berpakaian, hanya menggunakan kaos dalam
saja. Mengenai masalah
susila mereka tidak perduli dalam artian suamiku suamimu, istriku istrimu.
Mengerikan bukan? Setiap kali ada kunjungan dari kecamatan mereka merayakan
dengan acara mabuk-mabukan, dengan tuak yang mereka buat sendiri tentunya
dengan berjoget bersama. Bukannya mereka tidak beragama, hanya saja kurangnya
jangkauan dari orang-orang yang berpendidikan dan paham akan agama. Meskipun
lingkungannya demikian, namun orang tuaku tidak mengikuti gaya hidup mereka
tapi menghormati adatnya saja. Bahkan banyak orang yang masuk islam karena
adanya kedua orang tuaku, terutama orang yang mengasuhku dan tinggal dirumahku
yaitu kak Ana dan kak Aini. Wah pengasuhku dua orang lho.hehe
Pasangan yang baru menikah pastinya
sangat menjaga dan melakukan yang terbaik untuk malaikat kecil mereka. Tentu
saja aku sangat terjamin kebutuhan giziku apalagi ibuku adalah seorang Bidan
yang pastinya sangat memperhatikan makan minumku, sehingga aku tumbuh menjadi
bayi yang gendut tentu saja menggemaskan. Di usiaku yang sudah mencapai 1,5
tahun kedua orangtuaku hijrah ke Desa Empura kecamatan senaning kabupaten
Sintang. Desa empura terletak didaerah pesisir pantai. Nah daerah ini letaknya
sangat strategis, mudah dijangkau sehingga pasien-pasien yang mau berobat bisa
datang ke Desa tersebut. Disitulah kesibukan kedua orangtuaku semakin padat,
untungnya masyarakat setempat banyak yang peduli dan suka padaku. Sehingga aku
tidak merasa kesepian meskipun kedua pengasuhku stand by dirumah namun tetap
saja aku seharian tidak di rumah karena aku setiap harinya diculik sana sini
oleh penduduk setempat. Masyarakat di Empura mayoritas orang melayu.
Di usiaku 6 tahun kamipun kembali ketempat
asal ayahku yaitu Sambas, Kubangga. Karena saking susahnya untuk pindah dari
desa tersebut kami pun pulang tanpa kabar, kami pulang subuh-subuh sekali
meninggalkan desa yang penuh kenangan itu. Mengetahui kepulangan kami warga
setempat prustasi dengan berbagai tingkah laku mereka ada yang menangis
histeris, ada yang sampai menghanyutkan diri ke pesisir seolah-olah ingin
mengejar kami dan banyak lagi yang lainnya karena saking sayangnya dengan
keluargaku.
Teman
Kecilku
Desa empura terletak di Kecamatan
Ketungau Hulu ( Senaning), yang asal katanya diambil dari sungai ketungau.
Sungai tersebut merupakan transportasi air satu-satunya yang menghubungkan
antar desa, kecamatan dan kabupaten. Desa Empura terletak di tepi Sungai
ketungau, disanalah masa kecilku bermula. Rumahku yang bersebelahan dengan
pustu( puskesmas Pembantu) tempat ayah
dan ibu bertugas sebagai mantri (perawat) dan bidan di desa tersebut. Rumahku
berada di simpang tiga jalan besar Desa Empura yang tangga rumahnya tinggi
karena posisinya yang berada ditanjakan jalan. Karena posisi jalan disana naik
turun. Desa tersebut memang terlihat sepi namun sebenarnya penduduknya ramai
dikarenakan penduduknya sebagian besar mata pencahariannya bertani, sehingga
membuat suasana desa kelihatan sepi namun aku tidak pernah merasa kesepian.
Pasalnya, aku punya kakak angkat yang biasa kupanggil “ Kak Agus” dan kedua
pengasuhku yang selalu stand by menemaniku yaitu kak Ana dan kak Aini. Rumah
kak Agus tidak terlalu jauh, yang apabila turun dari tanjakan rumahku menuju
jalan besar di tepi sungai ketungau hanya memakan waktu 7 menitan dengan
berjalan kaki.
Kak agus adalah anak melayu ketungau
hulu yang sangat suka dengan anak kecil, apalagi diriku yang sangat
menggemaskan membuat dia selalu rindu padaku dan nyaris setiap hari, sepulang
dari sekolah ia datang menghampiriku dan mengajakku bermain bersama. Kala itu
kak agus barusia 8 tahun sedangkan aku 1,5 tahun. Aku seringkali diculik
olehnya, Dia membawaku kerumahnya begitu juga aku yang apabila sudah di
dirumahnya tidak mau dibawa pulang ke rumah. Tak jarang salah satu dari pengasuhku
datang untuk menjemputku pulang. Tetap saja aku bersi keras menolak dengan
rengekan dan tangis manjaku. Suatu ketika aku dibawa oleh pengasuhku kewarung
depan yang bersebelahan dengan rumah kak Agus, tiba-tiba ada yang memanggilku “
aloooong” aku menoleh dan spontan ingin digendong oleh kak agus dan minta
dibawa kerumah kak agus. Pengasuhku pun mulai was-was jika aku sudah bersikap
seperti itu. Pasalnya aku pasti tidak mau dibawa pulang. Karena saking capek dan kewalahan membujukku pulang,
pengasuhku terpaksa meninggalkanku dan melepasku bermain dengan kak agus di
rumahnya.
Banyak hal yang bisa kami lakukan bersama,
kami suka mandi bersama di sungai ketungau yang waktu itu aku sudah berusia 3,5
tahun. Kami suka bermain bersama sehingga kalau sudah merasa kepanasan kami
turun ke sungai dan bermain air disana menghabiskan waktu berjam-jam tidak
perduli terik matahari karena airnya yang dingin. Habis mandi barulah kami
bermain boneka pasang bersama, main gambar dan banyak lagi. Nah, kalau aku sudah
kelaparan aku segera makan meskipun tidak ada lauk minyak goreng bekas pun
dengan lahapnya aku menyantap nasiku yang disediakan oleh ibunya kak agus.
Jadi, gak heran kalau badanku gemuk. Yang lebih ekstrimnya lagi, apabila kami
sudah merasa letih, tanpa pikir panjang kami langsung menuju kamar dengan
berebutan tempat lalu terlelap tidur. Aku tidur dengan lelapnya tanpa
menggunakan baju dengan posisi telentang
dan kaki tangan dibentangkan. Sampailah pada sore harinya kami tejaga,
lalu memutuskan untuk bermain lagi di halaman depan rumah kak agus bersama
teman yang lainnya.
ketika
sang surya sudah beranjak ke tempat peristirahatan dan hari pun sudah agak
gelap. Ibu kak agus berteriak dari dalam rumah memanggil kami berdua untuk
segera mandi, barulah aku ganti pakaian. Kalau sudah rapi begitu, mulailah
mereka mengeluarkan jurus-jurusnya untuk merayuku suapaya mau diantar pulang.
Hum…dengan muka masam kecut dan meronta-ronta aku menolak sampai-sampai berlari dan bersembunyi di
bawah kursi namun mereka tidak menyerah membujukku. Akhirnya, dengan segala
rayuan dan janji-janji kalau besok aku akan dijemput lagi luluhlah hatiku.
Orang tuaku saja tidak pernah turun
tangan langsung untuk menjemputku dari rumah kak agus, karena mereka sudah
mempercayakan keberadaanku dengan keluarga kak agus, bahkan sampai malam
sekalipun jika aku belum diantar pulang mereka tidak pernah merisaukanku.
Pernah suatu ketika, saking sulitnya untuk dibujuk pulang. Saat aku tertidur
dengan pulas aku digendong dan diantar pulang tanpa sepengetahuanku. Tiba-tiba
terbangun aku sudah ada di rumahku.
Begitulah cara kami menghabiskan
waktu bersama, kak agus begitu menyayangiku. Sampailah pada masa dimana kak
agus lulus SD dan ingin melanjutkan sekolah ke SMP yang berada di kecamatan
ketungau tengah ( Nanga Merakai), karena di Desa Empura tidak terdapat
SMP. Sejak saat itu kami sudah jarang
ketemu meskipun aku masih tetap sering kerumahnya walau tanpa kak agus, sebab
kak agus jarang sekali pulang. Hum… beberapa waktu kemudian, aku dan keluarga
pun pulang ke kampung halaman karena orang tuaku dipindah tugaskan ke Sambas.
Sejak saat itu kami tidak pernah ketemu sampai aku berusia 18 tahun.
13 Tahun Kemudian
Bertepatan dengan bulan suci
Ramadhan tahun 2011. Kak agus dengan teman-teman kampusnya di Desa Sungai
Serabek Kecamatan Teluk Keramat (Sekura) melaksanakan KKN yang diadakan oleh
pihak kampusnya. Awalnya kak agus
mencari rumahku dengan membawa alamat yang didapatkannya dari Bob yang juga
merupakan teman kecilku sewaktu di Empura. Selama 13 tahu kami ( keluargaku dan
warga Empura) hilang komunikasi. Namun mereka tahu bahwa kami tinggal di Sambas
sehingga tidak terlalu sulit untuk mencari keberadaan keluargaku.
Kak agus begitu nekat mencari alamat
rumahku karena dia sangat merindukanku dan keluargaku, dengan perasaan ragu kak
agus bertanya kepada tetangga sebelah rumahku. Akhirnya dapatlah kepastian
bahwa dia tidak salah alamat dengan dilihatnya ibuku dari balik gorden jendela
kaca. Barulah ia merasa yakin bahwa yang dilihatnya adalah ibuku. Namun, saat
itu aku masih berada di Pontianak. Kami hanya bicara lewat telfon saja. Jujur
aku nyaris lupa dengan semua masa kecilku bersamanya. Namun setelah mendengar
cerita dari ibuku barulah aku kembali mengulang ingatanku 13 tahun silam.
Aku pulang ke Sekura, Tidak membuang
waktu aku segera menelfon kak agus. Memberitahukan padanya bahwa aku sudah di
Sekura. Sore harinya iya datang ke rumahku. Dengan janjinya yaitu dia akan
menginap.
Azan
magrib berkumandang menyeru alam sekalian, Hatiku bergetar menunggu kedatangan
kakak angkatku yang sudah 13 tahun
lamanya tak bersua. Segera aku mengambil wudhu dan melaksanakan shalat. Dalam
sujud panjangku terdengar suara yang tak saing ditelingaku. Ternyata kak agus
datang dan langsung menuju dapur menemui ibuku. Terdengar sayup-sayup olehku
dia menanyakanku pada ibu. Ibu bilang aku sedang shalat. Seusainya aku shalat
ibu langsung mengantar kak agus menemuiku di kamar. Dia memandangiku dengan
sangat dalam langsung memeluk erat tubuhku. Terdengar olehku isyak tangisnya
sembari meyakinkan dirinya bahwa akulah yang dulu bermain bersamanya.
Berkali-kali ia memelukku dengan suara tangisnya yang membuatku juga meneteskan
air mata.
Setelah sekian lama kami tidak
bertemu akhirnya Allah mempertemukan kami dalam suasana penuh cinta ya Allah, sungguh sekenario yang Engkau buat
tidak pernah disangka-sangka. Keluargaku yang biasanya hanya bercerita tentang
warga yang ada di suak medang dan empura saat makan bersama, dan tidak pernah
terlintas rasanya bisa bertemu kembali merasa sangat haru dengan suasna itu.
Bakat Kecilku
Belum genap 3 tahun aku pernah tenggelam di
air yang deras. Untung waktu itu rambutku panjang, sehingga ayahku masih bisa menjambak rambutku,
alhamdulillah aku masih terselamatkan. Akhirnya kedua orang tuaku nekat untuk
mengajariku berenang. Jadi diusiaku
genap 3 tahun aku sudah bisa berenang. Sejak itulah aku senang sekali berada di
sungai. Pokoknya yang namanya berenang itu adalah kegemaranku, tiada hari tanpa
bermain air dan berenang di sungai. Pasalnya aku punya kakak yang selalu
bersedia menemaniku kesungai kapanpun aku mau. kalau dia tidak mau, aku pergi
sendiri sehingga orang-orang kehilanganku. Sampai-sampai aku dibelikan kursi
oleh Ayah kakak angkatku, maksudnya supaya aku duduk di kursi tepi sungai menunggu
kakak angkatku selesai mandi. Tapi tidak sama sekali! kursi itu tidak aku
gunakan untuk menunggu, melainkan aku turun dari kursi itu dan ikut berenang
bersamanya.
Hum…masaa itu ada guru dari bali,
dia adalah seorang wanita cantik yang berteman dengan ibuku. Dia bisa menari bali, lalu dia mendirikan
sanggar tari piring. Waktu itu usiaku baru 4 tahun. Ibuku tidak berfikir
panjang untuk memasukkanku ke sanggar tari itu. Disitu aku belajar. Dengan
piring diatas telapak kedua tanganku, dan mata yang dibuka lebar melirik ke kiri dan ke kanan serta menggoyangkan
kepala juga pinggul yang melanggak lenggok. wah…rasanya aku sudah dewasa sekali
bisa menari seperti itu. Aku senang sekali
jika jadwal menariku tiba.
Karena saking inginnya bersekolah,
melihat teman-teman yang lebih tua dariku memakai seragam sekolah, aku pun
ditumpangkan oleh orangtuaku di SD yang terdapat di Empura. Aku pergi ke
sekolah di gendong ayahku jalan kaki. Saat itu usiaku baru lima tahun. Aku
duduk di kursi yang paling depan. Nah saat itu ibu guru mengabsen nama-nama
teman sekelasku. Tapi aneh, kok namaku
ga di panggil? Aku marah sama ibu guru “Bu Guru, kenapa nama saya tidak di
panggil?” dengan nada merengek. Aku pulang menangis dengan air mata bercucuran
mengadu kepada kedua orang tuaku. Tapi mereka hanya tersenyum sambil memelukku.
“ Along nggak mau sekolah lagi…!” suara tangisku pecah.
Aku
memanggil diriku dengan sebutan Along (anak tertua) kepada kedua orang tuaku
dan kerabat dekatku. Yang tak kalah serunya adalah mengenai hobiku yang apabila
aku meng eksplornya orang-orang yang melihat
aksiku dan yang mendengarkanku tertawa terbahak-bahak. Ya, aku senang
sekali menyanyi. Waktu itu ada yang namanya lagu ALONG di tv Malaysia aku
menyanyikannya dengan gaya anehku di atas kursi tanpa busana dengan kaca mata
hitam jaman dulu milik ayahku. Umurku
baru 3.5 tahun waktu itu. Wah aku narsis sekali!
Mainan Keramat
“
Panda…aku kangeeen!” sampai sekarang jika aku teringat akan masa kecilku, dalam
hati, aku selalu menjerit. Aku rindu
ingin memeluk boneka pandaku yang mengggemaskan yang ukurannya dua kali lebih
besar dari badanku masa itu. Si panda bermata hitam itulah yang menjadi teman
tidurku, tapi…aku gak bisa membawanya pulang ke kampung halamanku kala itu! Aku sedih sekali….! Aku berharap sekali bisa
memeluknya kembali saat ini…ingin rasanya aku mencari penggantinya, tapi…sampai
saat ini aku belum sanggup untuk membeli boneka yang ukurannya besar seperti si
pandaku. Ah…aku berharap aku bisa membeli
boneka impianku tentunya dengan uang hasil jerih payahku sendiri.
Aku
punya banyak sekali mainan, jadi teringat sama si kera kecilku yang selalu
membawa gendang di depan perutnya dan apabila di butar bagian belakangnya
dengan sendirinya si keraku itu berjalan sana sini sambil memukul-mukul gendangnya
itu. Hum…kalau sudah begitu aku lupa segalanya saking asyiknya menyaksikan aksi
si keraku itu. Pernah suatu ketika aku menangis sejadi-jadinya karena si keraku
hilang entah kemana, aku lupa di mana terakhir aku bermain dengan dia. Ibuku datang menghampiriku yang sedang
menangis sambil mencari-cari si kera, ibu menanyaiku dan ku jelaskan pada ibu
sembari merengek. Ibu mencoba menenangkanku dalam pelukannya.
Pondok Mungil
Ayahku sosok yang sangat rajin lagi
kreatif, Di Empura ayahku mempunyai kebun sahang tepatnya di belakang
rumah. Aku dan beberapa temanku sangat
senang bermain disana. Biasanya kami main petak umpet. Kami bermain
masak-masakan dengan mainanku yang saat itu lengkap alat-alat dapur layaknya
perabotan dapur yang asli. Nah…di belakang kebun sahang itu kira-kira 7 menit
berjalan kaki ada sebuah pondok bertingkat di tepi sungai. Pondok itu sengaja
ayah buat untuk refreshing setiap
pekannya. Kami biasa memancing ikan bersama, tak jarang kami tidur di pondok
mungil itu. Pernah suatu ketika, Hujan turun begitu derasnya. Malam itu angin
dengan kencangnya berhembus disertai halilintar. Saat kami sedang tidur dengan
pulasnya, karena keadaan kami pun
terbangun di kegelapan malam yang mengerikan itu. Aku terik-teriak menangis
ketakutan aku berlari mendekap ibuku. Aku takut sekali…aku sampai tertidur
dalam pelukan ibu dengan air mata berlinang.
Siang
harinya aku terbangun kudapati kedua orang tuaku sudah tidak bersamaku, kulihat
keluar jendela ternyata mereka sedang merapikan barang-barang di pondok yang
berhamburan karena kejadian tadi malam. Aku berlari bersama ibu dan ayahku
menuju rumah, hum hari libur usai.hehe dengan cekikikan tawa dan bersenda
gurau. Aku sangat menikmati suasana itu. Sesampainya di rumah, seperti biasa.
Ayah dan ibuku sudah sibuk melayani pasien-pasien mereka sedang aku bermain
dengan kak ana dan kak aini . Aku menceritakan kejadian malam yang mengerikan
itu pada kedua kakakku, dengan seksama mereka mendengarkan ceritku.
Telur Itu pun Menjadi Ulat
Ketika
masa ini, ulat tersebut banyak makan. Guna memenuhi keperluan masa kepompong.
Masa Baligh
Suaranya
memecah keheningan, “Besok saya sudah ditugaskan di Polda Pontianak.” Jelasnya
kepada seisi rumah. Ya, sepupuku yang sejak 3 tahun tinggal bersama kami demi
mencapai impiannya untuk melanjutkan pendidikan di SMAN 1 Telukkeramat, maka
selama menjalani pendidikan dia belajar dengan tekun sehingga dia selalu
menjadi juara. Dan sekarang ia sudah menjadi seorang polisi. Noviardi namanya,
dia sangat rajin dan sosok yang pendiam. Dia lah yang membantu ibuku mengurus
dan membersihkan rumah. Malam itu aku memutar otakku, saat itu aku masih duduk
di kelas 7 SMP. Selama ini yang banyak membantu ibuku adalah sepupuku itu. Aku
berfikir jika dia tidak di rumah lagi siapa yang bantu-bantu ibu dan
beres-beres rumah? Aku sadar bahwa aku sudah bisa bekerja bantu ibu mengurus
rumah jika aku mau! Mulai saat itu aku membulatkan tekatku untuk menjadi anak
yang berbakti kepada orang tua. Bukannya selama ini aku tidak berbakti namun
sifat pemalas dan kekanak-kanakanku yang membuat aku merasa belum berbakti.
Kutuliskan
target dan misi-misiku di sebuah buku. Kutuliskan agendaku dari bangun tidur
hungga tidur lagi. Sejak saat itu akulah yang menghandle rumah, mulai dari
kebersihan dan kebutuhan di rumahku. Aku sudah berunding dengan kedua orang
tuaku supaya mereka tidak mengambil orang yang bantu-bantu di rumah. Aku
menyatakan mampu mengerjakan perkerjaan rumah sendiri. Kubagi waktu bekerja dan
belajar. Setiap waktu luangku ku gunakan untuk belajar. Mengingat ukuran
rumahku yang lumayan panjang dan bertingkat aku harus bekerja extra cepat supaya waktuku bisa efisien dan
hasilnya maksimal. Rumahku yang berukuran panjang 32m dengan lebar 8m ditambah
lagi tingakat atas yang berukuran 8x8 meter, rumah yang terdiri dari 6 kamar
dan 1 kamar mandi serta 2 toilet itu membutuhkan waktu untuk membersihkan dan
merapikan setiap harinya. Aku mengatur waktuku sedemikian rupa, aku bangun
pagi-pagi sekali. Setelah sholat subuh, kumulai aktivitasku dengan mengeluarkan
motor ke halaman depan rumah. Aku menyapu mulai dari ruang tamu yang berukuran
6x8 m yang di samping kanan terdapat kursi dan di pojok kanan kirinya terdapat
aquarium yang berisikan ikan-ikan hias. Tak lupa ku sapa ikan-ikanku dan
memberinya makan, mereka menyambutku dengan hangat. Lalu aku melanjutkan
merapikan kamar kerja Ayahku lanjut keruang tunggu pasien. Kuteruskan menyapu
halaman rumah,sambil merapikan pekarangan rumahku. Kutatap langit yang msih
gelap itu,terkadang tampak olehku sketsa sang bulan yang tersenyum padaku.
Aku segera beranjak merapikan ruang keluarga
sekaligus menyapunya sampai ke dapur rumah. Setelah semua rapi dan bersih aku
mebersihkan kamar mandi dan toilet. Barulah aku mengambil pengepel lantai dan
kubasuh pengepel itu dengan pengharum lantai kusulap lantai rumahku menjadi
kinclong dan harum.
Aku menghabiskan waktu setengah jam
untuk melakukan pekerjaan rutin itu, untuk lantai atas rumahku aku hanya
membersihkannya seminggu sekali pasalnya dilantai atas tidak terlalu mudah
kotor. Aku segera berangkat belanja kepasar pagi. Nah, barulah aku membantu
ibuku masak di dapur. Setelah masak ku ajak kedua adikku untuk sarapan pagi,
barulah aku mandi dan bersiap-siap pergi ke sekolah. Aku biasa jalan kaki jika
aku ingin. Tapi pada umumnya aku kesekolah dengan sepeda miniku yang berwarna
biru. Pulang sekolah kutemui keadaan rumah sudah berantakan lagi, maklumlah
adik-adikku masih dalam usia bermain dan belum mengerti. Jadi bisanya Cuma
bikin sampah karena keaktifan dan kekreatifan mereka. hum,aku hanya tersenyum melihat keadaan rumah
yang seperti kapal pecah itu. Terkadang aku juga marah-marah kepada kedua orang
adikku. Kalau sudah begitu aku tidak lagi memikirkan rasa laparku. aku terbiasa
makan pagi dan bekal nasi sehingga aku tidak perlu banyak jajan. Dengan sigap
kulepas tas dan mengganti seragam sekolahku dengan cepat kubereskan rumahku
hingga rapi kembali. Barulah aku makan siang,
setelahnya aku istirahat sambil membaca buku. Ya, hobiku adalah membaca
terutama buku pelajaran . Aku mengulang kembali pelajaran yang tadi pagiku
pelajari di sekolah. Ayahku berhasil menanamkan pesannya padaku “Cintailah
rumahmu, jadikan ianya harta berharga
dan jangan biarkan ianya dalam keadaan kotor apalagi berantakan, usahakan
selalu bersih dan rapi. Sehingga ketika kalian keluar meninggalkannya kelak
kalian akan merindukan rumah kalian ini”.
Begitulah ayahku selalu berpesan mengenai kebersihan rumah “ Ingatlah,
annazo patuminal iman,kebersihan adalah sebagian dari imin” timpalnya.
Aku mengindahkan perkataan ayahku
itu, sehingga membuat aku selalu rindu dengan rumah dan aku betah sekali
dirumah. Tambah lagi letak rumahku yang sangat strategis. Rumahku sudah bisa
dikatakan sungai, karena apabila musim
air pasang tiba halaman depan rumahku bahkan dapurku tergenang air. Di belakang
rumahku terdapat pondopo kecil dan ada jembatan bertingkat di kaki kanan
pondopo itu kami menyebutnya jamban. Tapi bukan jamban yang dikenal kakus!
Pondopo itulah yang menjadi saksi bisu perjuanganku dan isak tangisku, juga
bahagiaku. Aku terbiasa menyendiri kala malam datang. Biasanya sambil membaca disitu jika sudah
jenuh dikamar. Jika cuaca cerah atau tidak bekas hujan, jembatan itu bersih dan
kering sehingga aku berbaring di jembatan penghubung antara jembatan pondopo dengan jembatan
tetanggaku. Sambil menikmati indahnya suasana malam hari yang sunyi itu dengan
memandangi bintang-bintang dan bulan, aku bicara pada mereka seolah mereka
mendengarkanku. Tapi jangan mengira aku gila ya, aku masih waras!
Aku
tipekal orang yang memang suka menyendiri dan muhasabah diri. Waktuku
kuhabiskan untuk hal-hal yang ku anggap bermanfaat untukku dan masa depanku.
Aku jarang sekali berkumpul dengan teman-teman sepermainanku. Bukannya aku
tidak mau bergaul, tapi pekerjaan yang lain siap menunggu dan kufikir
mengerjakannya dan mingisi waktu luang dengan adik-adikku lebih bermanfaat.
Namun sesekali juga aku berkumpul dan bersendagurau dengan teman-temanku.
Pernah aku mencoba untuk mengikuti gaya hidup mereka, ada yang mengganjal dalam
hatiku! Rasanya aku kurang nyaman dan itu bukan aku! Aku juga merasa lebih
nyambung bergaul dengan orang-orang dewasa dibandingkan dengan teman-teman
seusiaku masa itu..
Nah, rumahku juga berdekatan dengan
Puskesmas tempat orang tuaku bekerja saat ini. Dekat dengan pasar juga. Apalagi
dengan mesjid yang jaraknya hanya 100 meter dari rumahku, yang di samping
mesjid itu terdapat Sekolah Dasar tempatku mengenyam pendidikan dulu.
Dan Aku pun Berjilbab
Aku
resmi berjilbab 2 minggu sebelum Ulangan semester kelas VIII naik ke kelas IX,
semua berawal dari Ibuku yang selalu mengungkapkan perasaannya mana kala
memakai jilbab kepadaku (curhat), namun beliau tidak pernah sama sekali
memintaku apalagi sampai menyuruhku berjilbab. Suatu ketika kami liburan ke
tempat Nenek, aku dan Ibu sedang berbincang-bincang disebuah kamar petak rumah
Nenek, Ibuku sambil merapikan jilbab-jilbabnya yang banyak sekali di atas
lantai, lalu ibuku pergi ke dapur dan aku masih duduk di pinggir resbang sambil
memandangi jilbab-jilbab milik Ibuku tanpa sadar aku mengambil satu jilbab, aku
masih ingat jelas jilbab itu berwarna hijau muda dan pendek hanya sampai
menutup leher saja. Lalu kupakai jilbab yang berada ditanganku itu sambil
bercermin. Spontan aku melapasnya, dan bergegas menemui Ibu di dapur seketika
itu pula aku menyampaikan niatku untuk berjilbab. Ibu menatapku dengan penuh
suka cita sembari menanyaiku,
“
Apakah kamu yakin, anak ku?” Tanya ibuku dengan lembut penuh hati-hati,
Dengan
mantap aku menjawab “Yakin bu…along ingin segera berjilbab sebelum keinginan
ini hilang”
“
Bagaimana dengan bapakmu?” ibu meyakinkan ku
‘
Tidak apa-apa bu, insyaallah along bisa meyakinkan Bapak!” jawab ku serius
“
Yasudah kalau begitu maumu, ibu selalu mendoakan mu nak..”
“Bu
tolong potongkan baju panjang ya bu untuk sekolah” bujuk ku
“
Iya nak, sepulang dari rumah nenek kamu boleh memotong baju ya” jawabnya
Sungguh
aku sangaaat bahagia.
Sebelum baju panjangku jadi, aku
telah menggunakan jilbab terlebih dahulu di luar sekolah. Pergi ke pasar
(belanja) tugasku setiap pagi sebelum brangkat sekolah belanja ke pasar,
memasak, dan membersihkan rumah setelah semua beres barulah aku berangkat ke
sekolah. Kebiasaanku juga bekal nasi sedari SD sampai SMA, aku tidak perduli
kalau teman-teman meledekku. Uang jajanku kutabung untuk membeli keperluanku.
Pergi les dan hanya di sekolah dan di rumah saja aku belum menggunakan jilbab.
Aku terhitung gadis yang cuek dengan omongan yang tidak penting namun usil.
Contohnya saat temanku meragukanku karena aku belum sepenuhnya berjilbab, dia
berkata “Bunga, kamu ini sekali pake jilbab sekali enggak!” wah pedas sekali
mulutnya, dengan santai dan cueknya aku menjawab “Oooh kamu gak tau ya kalau
aku punya kembaran? Yang biasa pake jilbab itu kembaranku!” kulempar senyuman
dan aku berlalu begitu saja tanpa memikirkan perkataannya itu. Aku maklumi
saja, dia tidak tahu apa sebab aku belum seutuhnya berjilbab.
Sewaktu SMP masih awal-awal berjilbab, aku
masih menggunakan jilbab yang pendek dan masih suka pakai celana. Sejak
berjilbab, aku sering membeli buku-buku tentang agama aku suka sekali
membacanya itu adalah hiburan bagiku, setelah aku mengetahui bagaimana
berpakaian muslimah yang benar. Aku pun
bisa melihat dari film cara berpakaian yang rapi dan sopan berjilbab. Sejak
masuk SMA aku sudah tidak mau menggunakan celana dan jilbab-jilbab kecil lagi,
jilbabku sudah menutup dada dan aku selalu menggunakan rok.
Karena
cara berpakaian dan bergaulku yang tidak mau bersentuhan dan bersalaman dengan
lawan jenis aku di katakan fanatik dan terlalu berlebihan oleh teman-temanku
ada sebagian juga yang mendukung ku, aku tidak perduli apa yang orang lain
katakana tentang diriku. Aku bahagia dengan apa yang aku yakini kebenarannya.
Pengajian Minggu
“ Long, kamu mau nggak menggantikan
mamak menghadiri arisan pengajian? Soalnya mamak gak punya waktu untuk
menghadirinya. Along tau sendirilah, pulang dari kantor mamak udah kecapean
sorenya bantu bapak ngrus pasien. Nanti kalau along mau bisa pergi bareng sama
maklong sebelah. Gimana sayang? Lagian along gak ada kegiatan juga kan hari
sabtu siang? Ibu mencoba memaparkan panjang lebar padaku. Aku mendengarkannya
dengan seksama dan aku mengangguk tanda setuju sambil berkata “ Oh..boleh lah
mak, kalau begitu kapan bisa along mulai?
Siang itu pertamakalinya aku
menghadiri sekaligus menggantikan ibuku pada arisan pengajian minggu ibu-ibu
yang ada di desaku. Aku pergi bersama tetanggaku yang juga salah satu anggota
pengajian minggu tersebut. Ya, nama pengajian itu adalah Pengajian Minggu
karena diadakan setiap minggu sekali. Kala itu aku masih duduk di bangku SMP
kelas VII. Sejak saat itulah aku mengisi kegiatanku dengan mengikuti pengajian
ibu-ibu yang hanya aku gadis satu-satunya disitu. Pengajian tersebut tidaklah
tetap hari minggu terkadang tergantung keadaan apakah orang yang menerima
arisan sempat atau tidaknya. Jika ada kegiatan yang bentrok maka harinya bisa
diganti dengan hari yang lain, bisa sabtu, jumat, kamis dan lain-lain. Setiap
minggunya aku dan tetanggaku menghadiri pengajian di tempat yang berbeda-berda,
jadi aku pernah kerumah setiap anggota pengajian tersebut. Termasuk juga di
rumahku yang apabila giliran namaku yang di kocok nah, pengajian pun
dilaksanakan di rumahku. Sungguh rasa kebersamaan dan kekeluargaan yang luar
biasa.
Acaranya diisi dengan membaca
al-qur’an secara bergantian dan shalat ashar berjamaah. Lalu ditutup dengan
membaca yasin dan makan-makan. Seru bukan? Ibu-ibu anggota pengajian minggu
sangat sayang padaku, jika aku tidak datang mereka pasti menanyakanku. Sehingga
membuatku selalu rindu untuk mengadiri dan berkumpul bersama mereka. Kalau aku
sakit mereka datang kerumahku menjenguk keadaanku. Aku aktif sampai kelas XI
SMA, etelahnya aku izin istirahat ( berhenti ) untuk fokus mempersiapkan Ujian
Akhir Nasional yang sudah membayangi tahun depan.
Istana Kecilku
“ Kamarku… love you so much!”,
itulah kalimat yang selalu ku lontarkan jika aku hendak membanting tubuhku ke
kasur. Aku ini memang sangat mencintai kamarku, karena bagiku tanpa kamar ada
sesuatu yang kurang dalam kehidupanku. “Istana kecilki” , brgitulah aku menyebutnya. Karena disitulah
aku melepaskan rasa lelahku, aku bisa berkarya sesuka hatiku dan aku bebas
melakukan apa saja yang aku mau. kamarku itu adalah cerminan Susana hatiku.
Manakala kamarku berantakan itu artinya aku sedang bermasalah baik itu
fikiranku atau pun jasmaniku. Aku selalu berusaha untuk menjaga kebersihan dan
kerapiannya. Sungguh aku tak suka melihat yang berantakan dan kotor, kepalaku
rasanya pusing dan maunya marah-marah saja kalau suasana kamarku itu
berhamburan. Aku cenderung menutup diri kala itu, aku lebih suka menghabiskan
waktuku di istana kecilku, banyak hal yang bisa aku kerjakan setelah semua
pekerjaanku di rumah beres. Jika waktu ulangan sudah dekat aku mulai memutar
okat dan membuat jadwal tersendiri untuk belajar. Kebiasaanku adalah menempeli
kata-kata motivasi di dinding kamarku. Ku buat sejenis mading dan kutulis apa
saja yang kuanggap bisa memotivasi hidupku agar tetap semangat dan tidak putus
asa. Aku terbiasa memodifikasi letak tata kamarku, karena aku juga ingin selalu
merasakan nuansan dan susasana yang berbeda.
Pada dasarnya aku suka sekali
berdandan, bisa dibilang centil juga. Hehe aku mengekspresikan diri di istanaku
itu. Di dalam lemariku terdapat banyak sekali alat kosmetik dan aku bisa
sepuasnya ber meke up. Ku sulap sisir
menjadi mikrophone dan aku bernyanyi layaknya seorang penyanyi terkenal di
depan kaca. Tatkala aku sedang sedih tak jarang air mataku tumpah di bantal
kesayanganku. Jika aku sedang sakit selimut kesayangankulah yang
menghangatkanku di istana kecilku itu. Cintailah kamarmu sendiri sehingga kau
akan dapati keindahan dan kedamaian di dalamnya.
Sedikit Menganai Prestasiku
Dari kelas 2 SD aku sudah di
daftarkan les matematika oleh ibuku. Bisa dikatakan aku kurang dalam pelajaran
matematika, maka dari itu ibuku meminta guru matematikaku untuk mengajarkanku
di luar jam sekolah. Di bangku SD aku belum begitu menonjol, hanya diperingkat
4 tertinggi aku dapatkan. Namun, di bangku SMP aku bisa meraih juara 1 selama
dua ttahun. Di semester pertama aku belum mendapatkan juara namun pada saat
pengumuman pembagian rapor semester 2
aku dinyatakan sebagai bintang kelas ( juara 1) untuk kelas VII B.
Itu
pengalaman pertamaku mendapatkan juara 1, sungguh hatiku bergetar dengan
dipanggilnya namaku untuk berdiri dengan para bintang kelas di depan ratusan
siswa saat itu. Aku tak bisa membendung air mataku namun ku tolehkan kearah
belakang saat embun itu membasai sudut mataku. Ada rasa takut dan khawatir juga
saat itu. Aku takut tidak bisa mempertahankan apa yang sudah kuraih ini. Karena
aku selalu ingat bahawa mempertahankan itu jauh lebih sulit dari pada meraih!
Namun dalam diriku berkata aku harus bisa dan pasti bisa! Where there is a will there is a way, ingatlah bahwa dimana ada
kemauan disitu ada jalan. Dan
alhamdulillah selama 3 semester aku bisa mempertahankannya. Aku mendapatkan
bingkisan berupa buku yang dikadokan saaat itu. Sesampainya dirumah jika ayah
belum datang dari kantor, aku pasti menunggunya, kado itu belum kubuka. Aku
selalu meminta ayahku yang pertama membuka kado hasil juaraku. Sekaligus
meminta tanda tangannya di raporku. Ayah mengusap kepalaku,terkaadang beliau
mengecup keningku seraya memberikan motivasi agar aku tetap berprestasi.
Langit begitu cerah memandangi para
siswa yang sedang berkumpul di halaman sekolah, pembagian kelas dan pembauran
bintang kelas dari setiap kelas pun diumumkan. Jadi, waktu kelas IX kelas kami
kembali dibaur. Ternyata bintang kelas dari kelas A,B dan C dibaur menjadi satu
kelas. Kelas IX A, itulah kelas baruku. Kami bersaing di dalamnya tentunya
dengan persaingan sehat. Namun, aku hanya mendapatkan peringkat ke-3 saja. Tapi
aku tetap harus bersyukurapi tak dapat dipungkiri bahwa aku agak kecewa waktu
itu, sampai-sampai saat aku mencuci mangkuk kaca tiba-tiba mangkuk itu terbelah
ditanganku sehingga mengakibatkan jati kelingkingku terluka. Karena aku melamun
saat itu, aku agak sedih hanya mendapat juara 3. Ibuku menjahit bagian yang
terluka sambil menatapku lekat-lekat. “Kamu sedih ya nak?” suaranya
menyadarkanku dari lamunan. “Nggak kok bu”. Aku tersenym padanya.
Di bangku SMP jualah aku dipercayai mewakili
sekolahku untuk mengikuti lomba pidato tentang Narkoba se kabupaten. Namun
Allah belum mengizinkanku menjadi yang terbaik disana, hanya mendapatkan juara
Harapan 1 saja. Aku juga pernah diamanahkan oleh wali kelasku mewakili
olimpiade se kabupaten mata pelajaran Pendidikan dan Kewarganegaraan. Namun
hanya 1 orang saja perwakilan sekolahku yang mendapat juara disana. Itupun
hanya juara 3.
Hm…SMA,
aku sebenarnya ingin sekali mondok setelah SMP
namun kedua orang tuaku masih belum ingin berpisah denganku sehingga
jadilah aku santri wati tak kesampaian. Meskipun begitu aku tidak pernah putus
asa untuk tetap mengukir prestasi. Orang tuaku menahanku pasti bukan tanpa alas
an, mereka punya alasan tersendir yang aku sangat yakin itu untuk kebaikanku
juga. Bisa jadi, karena aku anak perempuan jadi agak rawan dilepas dalam
keadaan yang masih labil. Fikirku, ayah dan ibu masih mampu untuk
menggemblengku. Aku sempat ingin melanjutkan ke Gontor salah satu pondok
pesantren tertua di Indonesia yang berada di jawa timur. Orang tuaku
menyetujui, tapi setelah kudapatkan informasi dari narasumber yang langsung
salah seorang santri yang sedang mengbdikan dirinya di Gontor. Ternyata kalau
dari SMA bisa hanya saja harus mengulang 3 tahun untuk memaksimalkan ilmu dasar
dan dual bahasanya. Sehingga apabila ingin mendaptkan gelar S1 memakan waktu
selama 9 tahun. Aku yang saat itu masih sangat ambisi dan labil mengiyakan
dengan penuh keyakinan aku bisa! Aku adalah gadis yang beruntung yang mempunyai
orang tua yang sangat penuh pertimbangan dan faham dengan keinginan serta
kebaikan untuk anak perempuan mereka ini. Aku dimintai untuk memikirkan kembali
keputusanku. Tentunya dalam waktu yang tidak sebentar.
Alhamdulillah aku bisa bersaing dan
mempertahankan peringkat ke-2 selama satu tahun sehingga aku dinyatakan sebagai
siswi kelas IPA. Di SMA jualah aku bisa mengeksplor bakat menyanyiku. Dan aku
adalah juara bertahan diajang Pentas Seni yang diadakan oleh pihak sekolahku
untuk mengisi acara classmeeting. Aku rindu ayah yang selalu menjadi orang
pertama yang kumintai membuka amplop kemenanganku.
Sampai pernah aku diutus oleh pihak sekolah
untuk mengikuti lomba menyanyi se kabupaten. Pada malam 17 Agustus aku dimintai
guruku mengisi acara yang di adakan di depan gedung Kantor Camat membawakan
lagu daerah. Sungguh aku sangat takut dengan lontaran pujian dari masyarat
setempat. Dan aku juga disebut sebagai Putri Kecamatan oleh Mc acara tersebut.
Anggap saja malam itu aku sedang latihan untuk memaksimalkan performanceku esok
harinya di Sambas.
Sungguh aku sedih sekali karena tidak bisa tampil maksimak di acara lomba itu yang di laksanakan di SMAN 1 Sambas. Siang itu matahari begitu menyengat, awalnya kami diberi tahu akan tampil pagi. Tapi kenyataannya aku tampil jam 1 siang di bawah terik matahari yang membuat keringatku bercucuran. Make upku yang sudah tampak tak keru-keruan saat itu, sedang sainganku baru saja selsai ber make up sehingga mereka kelihatan lebih segar dari pada aku yang sudah di make up sejak jam 6 pagi. Mau di make up ulang piñata riasnya sudah pulang duluan. Masalahnya lagi DVD latar untuk music pengiring itu tidak bisa dinaikkan 3 oktaf dari nada aslinya. Sehingga membuatku ingin mengurungkan niatku untuk tampil. Karena aku tau jika aku menggunakan nada dasar pasti akan sulit membawakannya karena jenis suaraku yang tinggi. Aku terpaksa menyanyi dengan nada dasar waktu itu. Hum…hancur semuanya!
Setiap kali acara perpisahan Aku ditunjuk sebagai MC selama 2 tahun, sekaligus mengisi acara yaitu menyanyikan sebuah lagu. Aku juga menjadi keanggotaan OSIS selama 2 tahun sebagai seksi keagamaan. Namun ada masa dimana aku fakum akan prestasi.
Satu
bulan sudah aku menjadi siswa X1 IA, Malaria Typusku kambuh dan aku lama tidak
masuk Sekolah sehingga banyak ketinggalan mata pelajaran, kelas IA adalah
sistem persaingan sehat yang memang siswa-siswa pilihan. Setelah 5 bulan
lamanya aku sering tidak masuk aku kewalahan untuk mengejar materi yang tidak
mudah bagiku. Tapi Allah maha pengasih lagi maha penyayang, Alhamdulillah aku
bisa naik kelas dan Lulus dengan nilai yang memuaskan. Dengan nilai rata-rata
8.
Perpisahan
hatinya
berdegup dengan irama yang begitu merdu, matanya basah. Karena sebentar lagi ia
akan melepaskan si putih abu-abu yang setia menemani langkahnya selama 3 tahun
terakhir. Langit sekura menampakan pesonanya, dibarengi dengan alunan lembut
sang angin yang memberikan kesegaran pada setiap undangan yang hadir. Ya, acara
perpisahan itu dilaksanakan di Taman Air Sekura atau yang akrab ditelinga
penduduk setempat dengan istilah kafe terapung. Kenapa kafe terapung? Karena
kafe tersebut berada di atas air dan mengapung.
Masih saja ia terdiam dengan menebar senyum kepada setiap yang
memandangnya. Gadis itu bercengkrama dengan teman-temannya di kursi yang
tersedia untuk para siswa kelas XII. Yah, gadis itu adalah aku. Aku mencoba
untuk larut dengan keceriaan teman-teman sekelasku yang duduk berdekatan
denganku. Kami berfoto bersama serta menikmati suasana yang begitu menyejukkan
saat itu. Pasalnya hampir semua orang tua / wali siswa kelas XII hadir, tak
terkecuali ibuku. Dari kejauhan
Kupandangi ibuku yang sedang ayik berbincang-bincang dengan orangtua temanku
tampak begitu menikmati suasana. Sesekali aku dan ibu bertemu pandang dan
kutebar senyum untuknya. Seketika ibuku pun membalas senyumku.
Acara
pun dimulai. Pembawa acara ( MC) yang tampak rapi dengan kemejanya sudah
membuka acara dan dilanjutkan dengan beberapa sambutan dari beberapa orang yang
berpengaruh di sekolahku dan juga dari pihak kecamatan seperti, kepala sekolah
dan camat. Tak terkecuali ayahku yang juga sebagai ketua komite di sekolahku
yang seharusnya menyampaikan kata sambutannya, namun saat itu beliau tidak bisa
hadir dikarenakan beliau sedang melakukan kunjungan ke Yogyakarta mewakili
kampusnya. Ya, ayahku yang melanjutkan
studinya minta diwakilkan oleh sekretaris komite yaitu ayah dari temanku juga.
Nah, acara yang ditunggu-tunggu. Yaitu acara salam-salaman seluruh siswa kelas
XII kepada para guru. Namaku dipanggil untuk memulai terlebih dahulu acara itu,
dengan gaun unguku aku berjalan memulai salaman kepada seluruh guru yang sudah
berbaris rapi di depan pentas disusul teman-teman yang lain. Satu per satu guru
ku salami “ kecuali” guru laki-laki dan guru wanitanya kupeluk satu persatu.
Tanpa terasa aku meneteskan air mataku di iringi nyanyian dari adik kelas.
Suasana
begitu khidmat dan mataku menyapu kesemua kafe itu yang dipenuhi seluruh siswa
SMAN 1 Telukkeramat. Setelah semua usai salaman. Memasuki acara terakhir yaitu
acara makan-makan dan hiburan. Acara hiburan itu juga di buka olehku yang
dimintai oleh guruku untuk mengisi acara dengan membawakan sebuah lagu yang berjudul
Bukan Cinta Biasa ( Siti Nurhaliza ). Namaku di panggil, dengan tenang aku
melangkahkan kakiku sembari membaca doa
dalam hati, sampai aku yakin bisa
memulai, abg cameramen yang sudah siap dengan kamera nya memberi kode padaku
agar aku melihat kearah kamera saat menyanyi. Ya setiap kali acara perpisahan
pihak sekolah memang menyediakan jasa cameramen untuk mengabadikan momen
itu. aku langsung melantunkan
nyanyianku. Semua mata tertuju padaku dan ku tebar senyum. Kukuasai panggung
itu hingga lagu berakhir suara tepukan itu bergemuruh. Ku akhiri dengan salam
dan senyum kepada seluruh undangan. Setelah aku kembali duduk salah satu
temanku berkata padaku yang membuat aku langsung istighfar karena takut. “
bagus sekalai..minta tanda tangannya ya long..” dengan wajah yang menunjukan
kekaguman. Ya, aku takut sekali bila dipuji, menurutku pujian itu hanya akan
menjerumuskanku.
Kepompong yang Penuh Semangat
Pada
fase inilah (kepompong) ada masa perubahan yang dimana kepompong itu berubah
menjadi kupu-kupu, tentunya untuk menjelma menjadi seekor kupu-kupu yang indah
perlu persiapan-persiapan. Nah, secara fisik kepompong itu memang diam /
istirahat tapi secara psikologis dianya terus bersemangat mempersiapkan diri
menuju kematangan (menuju kupu-kupu).
Biarlah Rasa Sakit itu Menjadi
Penawar Dosaku
Karena
tinggal di daerah primitive dan masih banyak hutan belantara di desa suak
medang, mengakibatkan ibuku menderita penyakit malaria sejak aku dalam
kandungan. Otomatis bayi yang ada dalam kandungan ibuku itu juga menderita
malaria, bayi malang itu adalah diriku sendiri. Diumurku yang menginjak 1 tahun
aku terserang kejang-kejang dikarenakan malaria kronis. Usiaku 5 tahun
menjelang kelahiran adik pertamaku setelah dicek malariaku sudah gametosit
(terjadi pemecahan) hampir menyerang otak. Hal ini disebabkan oleh aku yang
tidak bisa sama sekali minum obat, sudah ditelan obatnya pun berusaha untuk
memuntahkannya kembali. Umurku 6 tahun typus pun menyerangku dengan hasil
laboratorium seperempat ratus. Sejak itulah ibu memantangiku tidak boleh makan
terlalu manis,p edas masam, dan tidak boleh terlambat makan.
Selama mengenyam pendidikan di SD penyakitku
itu tidak terlalu sering kambuh, hanya
saja sewaktu duduk di bangku SMP malaria typusku sering sekali kambuh. Setiap
menjelang ulangan semester pasti aku jatuh sakit mungkin karena terlalu
diporsir. Lucunya meskipun aku sedang tebaring sakit tapi aku tetap saja ingin
belajar. Karena aku sadar dengan sakitnya aku pastilah aku banyak sekali
ketinggalan mata pelajaran, ditambah lagi aku bukanlah orang yang pintar banget
jadi aku bisa karena aku mau belajar dan rajin mengulang pelajaran. Jadi,
selama aku sakit bukuku pun pasti ikut denganku, kumintai ibuku untuk mengambil
buku-bukuku dan mendekatkannya padaku sehingga aku dikelilingi oleh
buku-bukuku. Jika merasa aku sanggup untuk membaca aku akan lakukan itu, kubaca
dan kupahami materi meskipun hanya sedikit-sedikit. Dan Allah Maha Tahu dan
tidak pernah tidur. Aku masih bisa mempertahankan juara pertama saat pembagian
rapor. Di tambah lagi sakit bulananku yang selalu merajalela yaitu disminore.
Jika haid tiba aku pasti pulang dan dijemput dari sekolahku. Guru-guru SD, SMP
dan SMAku sudah pada hapal dengan penyakitku sehingga mereka bisa memaklumi
keadaanku. Saat itulah aku merasa indahnya punya teman yang baik serta ringan
tangan, teman-temankulah yang selalu bersedia mengantarku pulang kerumah.
Berduyun-duyun mereka membawaku pulang dengan sepeda motor . Masih ingatkah
kalian? Saat Aku kalian himpit depan
belakang dalam satu motor agar aku tidak jatuh, dan beberapa teman yang lain
membawa motorku? Aku merindukan kalian semua.
Magg
kronis yang juga melanda diriku sehingga membuatku tidak boleh makan
sembarangan kala itu. Tiada hari tanpa sakit kepala! Itu aku rasakan sejak kelas VIII SMP. Dan tiada hari tanpa
minum obat…! Tapi sekarang aku tidak terlalu memusingkan rasa sakitku itu. Aku
mencoba menerapkan ilmu yang diajarkan oleh guru bimbelku yang bernama Reza
Akbar. Belaiau memberitahuku tentang
buku The Secret yang mengisahkan beberapa orang yang sudah divonis akan
meninggal dunia. Namun, orang tersebut selalu berpositif thinking dan dia
bergaya hidup layaknya orang yang sehat. Dan hasil akhir menyatakan orang
tersebut bersih dari kanker yang mematikan itu. Jadi, maksudnya agar aku selalu
berpikiran positif dan beranggapan aku tidak sakit dan berprilaku seperti orang
sehat pada umumnya. Alhamdulillah aku berhasil menerapkannya.
Dulunya aku yang selalu di asuh obat
sekarang aku hanya sesekali saja minum obat. Yang dulunya aku sering terkapar
sakit, sekarang aku merasa seperti orang yang sehat pada umumnya. Mana kala
kurasakan maliaria atau typusku kambuh aku langsung mengendalikan fikiranku
bahwa aku baik-baik saja. Meskipun tak jarang rasa sakit itu melandaku namun,
aku tidak terlalu memusingkannya. Jika aku butuh istirahat ya, aku segera
istrahat.
17 Mei
2011
24
juni 2011 tepatnya hari jum’at , Pesawat yang kunaiki mendarat di Bandara
Supadio Pontianak. Bersamaan dengan itu pula Ibuku datang ke Bandara untuk
menjemput ku. Aku turun dari pesawat
sambil mengatakan
“
Oh Pontianak I’m coming again!”
Ku
hampiri Ibu ku yang baru saja masuk ke tempat pengambilan barang sembari
memeluk erat tubuhnya dan menciumi
tangannya. Tidak terasa sang waktu begitu cepat berlalu, 3 minggu silam
aku masih menikmati sejuknya udara Kota
Pelajar nan memesona ( Yogyakarta).
Semenjak Pengumuman Kelulusan 16
mei aku dinyatakan LULUS, pada tanggal
17 mei aku telah meninggalkan rumah dan keluarga ku tercinta demi menyonsong
masa depan yang diridhoi oleh Allah swt.
Itu adalah pengalaman pertamaku meninggalkan rumah, karena sedari kecil
aku selalu bersama orang tuaku. Kepulangan ku dari Yogyakarta memang tidak
langsung kembali ke rumah orang tuaku, karena aku bertekad “Setelah kudapatkan gelar Mahasiswi aku baru akan pulang” itulah
tekadku! Sehari sebelum aku pulang ke Pontianak aku terlebih dahulu menghubungi
temanku yang ada di Pontianak yang tempo
hari kuajak berkenalan sebelum aku berangkat ke Yogyakarta.
“
Hallo, assalamu’alaikum mba”
“Iya,
waalaikumsalam Bunga. Ada apa ya?”
“Begini
mba, Bunga mau pulang ke Pontianak. Di kosan mba ada kamar kosong nggak? Kalau
ada tolong pesankan untuk Bunga ya Mba.”
“Oh
iy ada, nanti mba bilang sama pemilik kos nya”
“Ok,
makasih ya mba.”
Begitulah
perbincangan singkatku dengan mba muyas.
Aku
memang gadis yang mudah bergaul dan mudah dekat dengan orang baru disekitarku,
maka dari itu aku juga cepat akrab dengan teman baruku itu, namanya Siti
Muyasara dia berasal dari Natuna, kepulauan Riau. Dia kuliah di FKIP UNTAN Pontianak. Aku menyebutnya mba muyas, sehari setelah
kami berkenalan di Mega Mall aku pun langsung memintanya mengajariku matematika
untuk persiapan tes SNMPTN. Aku menginap di kosnya dari situlah aku merasa
nyaman di kosnya yang berada di jl. Ayani/sepakat2 gg.mawar (yang sekarang sudah kutempati). aku berangan-angan bisa tinggal di kos itu
juga karena faktor air yang lancar dan
lingkungannya pun aman.
Aku
berjalan menyusuri setiap sudut kos yang sederhana itu sembari berkata
“Mba,
kalo nanti bunga kuliah di Pontianak bunga mau tinggal disini sama mba.” sambil
menatap kearahnya
Mba
tersenyum kea rah ku
“Iya…”
Baru
saja aku menyelesaikan percakapan singkatku, Hand Phoneku pun berbunyi, sms
masuk
Dari
Bapak,
“Nong,
kamu mau nggak ke Yogyakarta mengikuti
tes Kedokteran, nanti disana kamu tinggal sama Om. Kalau kamu siap kita
langsung konfirmasi sama keluarga Om”.
Seketika
itu pula aku membalas sms bapak
“Mau
pak, nanti setelah tes SNMPTN baru bisa kesana pak.”
***
Hari
itu cuaca begitu cerah menyambut kedatanganku, ibu mencium pipi ku sambil
menanyakan kabar ku
“Kamu
sehat nak?” sambil menatap ku penuh kasih
“Alhamdulillah
sehat mak…” aku tersenyum kearah ibu
Kami
pun bergegas keluar mencari taxi untuk membawa barang-barangku. Ibu membawakan motor untukku dari Rumah,
supaya nanti aku di Pontianak punya kendaraan sendiri. Orang tuaku mengizinkan dan mendukung
tekadku untuk tidak segera pulang ke rumah.
Ibuku membawakan barang-barangku dengan taxi, sedangkan aku mengendarai
sepeda motor sendiri sebagai penunjuk arah menuju kos baru ku. Dan hari itu
pulalah aku sah menjadi anak kos-kosan.
Aku sengaja tidak memberitahukan kepada mba muyas bahwa aku akan datang,
kuketuk pintu kamar mba sembari mengucapkan salam,
Tok…tok..tok..”
Assalamu’alaikum,mba…”
Mba
dan temanya keluar dari kamar dengan memasang wajah kaget, aku langsung mencium
tangannya dan memeluknya…
“Mana
kamar Bunga mba?” Tanya ku sigap
“Ini
kamarnya bunga…” sambil mengantar ke kamar baru ku
Aku
pun langsung bergegas mempersilahkan Ibu untuk beristirahat.
Pasalnya
semalam sebelum ibu berangkat ke Pontianak, ibu merujuk pasien yang melahirkan ke Pemangkat dan tidak tidur
semalaman.
Ibu
pun beristirahat sejenak dan aku sedang asyik bergenah ria di istana kecilku.
Aku tidak memperdulikan rasa lelahku. Ibu tidak lama menemaniku setelah shalat
isya ibu pun pulang ke Sekura menggunakan taxi.
***
Rencanaku
selanjutnya adalah mendaftar di STAIN Pontianak, aku daftar dijurusan tarbiyah prodi PBA dan mengikuti
tes. Pada saat tes wawancara aku di
sarankan masuk di BKI kata pak Gito sesuai dengan kepribadianku. Karena latar blakangku bukan dari Aliyah
maupun Pesantren dan umumnya yang di PBA
adalah dari Aliyah dan pesantren. Pada saat pengumuman tiba kulihat namaku dan
aku lolos kedua-duanya, di PBA dan BKI. Aku diminta dosen untuk memilih salah
satunya. Dengan bismillah aku memilih BKI.
Untuk pertama kalinya juga aku menyambut datangnya
bulan suci Ramadhan tidak dengan keluargaku, tanggal 8 Agustus aku daftar ulang
dan pulang ke Sekura dengan sepeda motor sendirian. Ini pertama kalinya aku
melakukan perjalanan jauh yang normalnya dari Pontianak Sekura memakan waktu 6
jam namun waktu itu aku bisa menumpuhnya dalam waktu 5 jam saja. Sebelum aku
pulang, aku menanyakan rute perjalanan kepada teman satu kosku. Dan Alhamdulillah aku datang dengan selamat
ke rumah dan berhasil memberikan surprise
kepada kedua orang tuaku. Pasalnya aku tidak memberitahukan keputusanku untuk
pulang dan menggunakan motor sendirian. Karena fikirku kalau aku bilang mau
pulang pastinya mereka akan sibuk dan khawatir sekali kepadaku. Aku ingin membuktikan bahwa aku bisa mandiri
dan menjadi sosok yang kuat seperti halnya kedua orangtuaku. Ini pengalaman yang tidak akan pernah aku
lupakan. Kurang lebih 3 bulan aku baru pulang kerumah. Itu pun hanya 7 hari di
rumah karena tanggal 15 agustus sudah harus ada di kampus untuk mengikuti
ospek, dan aku pulang ke Pontianak dengan sepeda motor sindiri lagi.
15
agustus 2011 kado terindahku dengan diucapkannya selamat datang oleh panitia
opak (Orientasi Pengenalan Akademik) Sampai sekarang aku sudah 4 kali pulang
pergi dengan sepeda motor dari Pontianak – Sekura maupun sebaliknya. Tempo
hari orangtua ku menelfonku untuk
memintaku jika plang lagi nanti menggunakan bus saja, mereka menghawatirkanku
di tengah perjalan jauh itu. Dan aku akan memenuhi permintaan mereka. Gelar
mahasiswi pun telahku dapatkan dan sekarang aku sah menjadi seorang mahasiswi
STAIN Pontianak, dan aku siap mengemban amanah orang tuaku dan mengejar target
dalam hidupku. Kesungguhan, kerja keras, keyakinan dan tekad insyaAllah akan
membuatku menjadi oaring yang berhasil. amiin
Seberapapun indahnya rencana
kita, jauh lebih indah rencana Allah untuk kita.
Adik-adikku Tercinta
Dari
kejauhan kulihat seorang anak remaja yang memakai celana kain hitam baju kaos
coklat diselubungi sweeter abu-abu dan tas ransel miliknya, sepatu hitam dan
helm berwarna merah yang semakin menambah ketampanan wajah putihnya. Ia naik
keatas motor yang dikendarai oleh seorang pemuda yang sudah siap dengan
barang-barang bawaannya. Anak remaja itu menoleh kearah belakang dan
melontarkan senyum perpisahan. Hari itu dia harus segera kembali ke Pondok
Pesantren Ushuluddin tempatnya mengenyam pendidikan. Kulambaikan tanganku
kearahnya sembari berdoa didalam hati, “ Ya Allah, hamba titipkan adik hamba
kepada-Mu. Jaga lindungi serta peliharalah dia dan jadikanlah ia Anak yang
soleh”. Ya, anak remaja itu adalah adik pertamaku yang bernama Wally Akbar
Al-hafiz. Kami memanggilnya Akbar, dia lahir di Sintang tepatnya tanggal 7 juli
1998. Akbar adalah anak yang baik dan pintar, dia sangat hobi berolahraga.
Sedari kecil dia mempunyai tubuh yang gendut, seiring dengan bertambahnya usia
dan pergaulannya. Ia merasa malu dengan tubuh gendutnya itu. Dia mempunyai
banyak teman sehingga membuatnya mudah untuk mengaplikasikan hobi dan bakatnya
dalam bidang olahraga. Selama dia di Pesantren tubuhnya semakin
tinggi dan lebih menarik dari sebelumnya, dia tidak gendut lagi.
Malam
itu aku begitu khawatir dengan keadaan ibuku, bapak yang sedari tadi kelihatan
cemas dengan wajah lusuh dan lelahnya setelah seharian kami sibuk membawa ibu
ke Rumah Sakit Sambas, sesampainya disana tiba-tiba ibu pendarahan. Pihak Rumah
Sakit pun segera meminta Ambulance untuk membawa ibuku ke Rumah Sakit
Pemangkat. Ibuku semakin parah dan nyaris kehabisan darah, di Pemangkat
Dokternya tidak ada dan pihak rumah sakit hanya bisa menyediakan darah untuk
ibuku yang sudah terkapar dengan tali infus ditangannya. Aku yang sedari tadi
duduk disudut mobil ambulance sambil memandangi ibu yang sedang merintih
kesakitan. Tibalah kami di Rumah Sakit Singkawang, sekonyong-konyong para
perawat datang bergegas menghampiri kami dan sigap mereka membawa ibu keruang
operasi. Aku,bapak dan yang lainnya menunggu dengan penuh
kekhawatiran. Setelah operasi selesai , bapak segera menghampiri Dokter dan
segera menanyakan keadaan ibu. Ibu masih tak sadarkan diri dan terdengar kabar
bahwa adik keduaku itu di tempatkan di dalam tabung yang ber oksigen karena
keadaannya yang lemah. Kupandangi bayi mungil (4,5 kg) itu dengan mata berbinar
dari kejauhan. Kami tidak boleh masuk dalam ruangan itu. Ingin sekali aku
menggendongnya. Diberilah nama oleh bapak Sohib Bus Sobri, 9 juli 2000.
Kami
memanggilnya Sohib, tak jauh seperti halnya abangnya Akbar. Sohib juga tumbuh
menjadi anak yang cerdas, aktif dan kreatif. Dia selalu mendapatkan 3 besar
dikelasnya. Sohib juga memiliki hobi dan bakat dibidang olahraga, terkadang
kami bertiga bermain badminton didepan rumah. Kami sangat akrab, kami juga hobi
memasak.
Sehingga
mamak tidak perlu repot-repot menyiapkan makan untuk kami bertiga. Terkadang
kami cerita-cerita tentang pengalaman di sekolah setiap harinya. Tapi sekarang
kami sudah brjauhan dan jarang bersua namun walaupun jauh dimata tetap dihati.
I love my brother’s very much.
Sebulan
Saja
“Nak…kapan kamu mau pulang?”
Tanya laki-laki 40 tahun, melalui telpon genggamnya. “Pak..along masih belum
ingin pulang pak, izinkan along belajar tentang kehidupan melalui lingkungan
dan kehidupan disini ya pak..banyak hal yang bisa along dapatkan tentang sebuah
perjuangan dan pengorbanan” jelasku sembari membujuk. Memang aku belum pernah
meninggalkan rumah dan kedua orang tuaku dalam waktu 2 bulan. Tentu saja ayahku
yang tak bisa jauh dari anak perempuan semata wayangnya ini merasa rindu. Aku
faham akan hal itu. Namun aku juga ingin melihat kehidupan luar. Aku ingin
melihat perbedaan yang begitu jelas adanya di kota Pontianak ini. Di sinilah
aku melihat dengan jelas perbedaan suku dan etnis yang begitu nyata. Selama ini
aku hanya bergaul dan bersua dengan orang melayu yang merupakan mayoritas dalam
lingkunganku sejak aku SD sampai tamat SMA. Tidak mudah untuk memahami dan
mengenal karakter setiap individu apalagi yang berbeda suku, namun aku tetap
berusaha membangun jembatan dalam setiap kesempatan dengan orang-orang
disekitarku. Aku berusaha untuk tidak membangun tembok yang menjadi penghalang
untuk memperluas jaringan ukhuwah. Sehingga membuatku merasa nyaman dan
bersahabat dengan kehidupan baruku ini. Seperti kata pepatah “Masuk kandang
sapi mengemoh, masuk kandang kambing mengembek”. Artinya berusaha untuk
menyesuaikan diri dimana kita berada.
Sebulan menjelang tes di STAIN,
aku sudah menyusun strategi. Mulai dari minta dikirim buku-buku agamaku yang
aku kumpulkan semenjak SMP, mencintai kamarku agar aku tidak jenuh, dan
menambah jaringan serta informasi-informasi mengenai tes. Pada umumnya
teman-teman kosku jarang berada di kamar mereka karena sibuk dengan kuliah dan
agenda-agenda mereka. Kulihat ada beberapa teman kosku yang menghabiskan
waktunya mengajar privat di samping kuliah. Aku yang waktu itu hanya
menghabiskan waktu di istana kecilku dengan membaca buku persiapan tes.
Hum...aku jadi puny ide untuk mengisi wakru luangku disore hari. Aku bertanya
kepada tetangga sebelah mengenai anak TPA, sejak SMP aku mempunyai keinginan
untuk mengajar TPA pasalnya aku suka sekali dengan anak-anak. Bapak separuh
baya itu menyarankanku menanyakan di Mesjid Syaifullah samping jalan sepakat 2.
Kebetulan tidak jauh jaraknya dari kosku. Aku langsung menanyakan kegiatan anak
TPA di Mesjid tersebut. Alhamdulillah malamnya ba’da magrib aku sudah bisa
bercengkrama dengan anak-anak TPA itu. Dengan mata berbinar aku melihat ke-7
adik-adik baruku itu sembari memperkenalkan diri. Aku cepat sekali akrab dengan
mereka, ku ajak mereka pulang bersama dengan sepeda motorku. Empat orang anak
gadis yang kuajak bersamaku yaitu Ayik, Lia, Lola dan sikecil Lina. Mereka
tampak anggun sekali dibalut jilbab. Kebetulan rumahnya berdekatan, berada
dalam gang yang sama. Sedang anak laki-lakinya Habib, Rendi dan Beni
bergoncengan sepeda.
Malam itu rintik hujan yang
membasahi, dengan penuh kecerian dan canda tawa kami berpisah di depan rumah
adik-adik baruku itu. Aku berpamitan kepada orang tua mereka. Sepeda motorku
menembus hujan, sungguh hatiku berbunga-bunga dan ada kepuasan tersendiri dalam
benakku saat aku bisa merealisasikan keinginanku yang sejak lama kupendam.
Honda hitam milikku membelah jalan sepakat dengan tenang. Setiap hari minggi
Empat gadis kecil TPA itu silaturahmi ke kamar petak kediamanku. Mereka selalu
membawa kebahagiaan dan mewarnai hariku. Hanya satu bulan lamanya aku bersama
mereka di TPA, karena 2 hari sebelum tes aku sudah memfokuskan dengan
persiapanku. Meskipun aku tidak datang untuk berkumpul dan belajar bersama
mereka, namun diluar aku dan adik-adikku itu sangat menjaga dengan baik ukhuwah
kami. Mereka mengajakku pergi ke kolam renang yang ada di GOR.
Hari minggu yang cerah itu, aku
dan empat orang adik-adikku itu pergi ke kolam renang dengan sepeda motorku.
Ayik, Lia, Lola dan Habib memenuhi Honda hitam kesayanganku itu “Dek, apa gak
dimarah kita sam pakpolisi berlima dalam satu motor dan hanya kakak yang
menggunakan helem?” tanyaku dengan tetap focus mengendarai motor. “Umm, gak
apa-apa kali kak” jawab salah seorang dari mereka ragu. Hatiku was-was dan
khawatir sekali “Berdoa saja ya dek mudah-mudahan gak ada polisi” pintaku
dengan perasaan takut. Sesampainya di Gor kami tidak tahu bahwa harga tiket
masuknya mahal jika hari libur. Kebetulan mereka tidak membawa uang banyak, dan
aku yang hanya menemani pun harus membayar meskipun tidak ikut berenang.
Alhamdulillah akhirnya masalah uang bisa teratasi.
Ini pertama kalinya aku ketempat
itu, subhanallah indah sekali. Wajah mereka tampak cerah dan kelihatan sangat
menikmati. Aku duduk di kantin sambil memandangi dari kejauhan. “Seandainya
yang aku bawa kesini adalah adik-adikku, Akbar dan Sohib. Mereka pasti bahagia
sekali. Nanti aku akan ajak mereka kesini” wajah kedua adikku hadir dipelupuk
mataku. Takku sadari pipiku basah. Aku merindukan keduanya.
Setelah mereka merasa lelah kami
pun pulang. Alhmdulillah selamat tanpa tujuan, tanpa melihat ada polisi di
jalan. hehe
Welcome to STAIN Pontianak
“Selamat
datang di STAIN Pontianak!” kalimat itu adalah hadiah ulang tahunku diusia 18
tahun. Ya, tepat tanggal 15 Agustus 2011 yang bertepatan dengan hari
kelahiranku technical meeting Opak mahasiswa baru. Hari itu juga ketua STAIN Pontianak DR.H. Hamka Siregar, M.Ag
mengucapkan selamat kepada seluruh mahasiswa baru. Hari itu bertepatan juga
dengan bulan suci ramadhan, kami diberikan arahan untuk mempersiapkan pernak
pernik kegiatan Opak (Ospek).
Senin pagi, semua berkumpul di
aula STAIN, mahasiswa yang berjumlah empat ratus lebih memenuhi ruangan aula
tersebut. Kakak-kakak panitia Opak sudah berjejer rapi di depan kami semua,
satu persatu dari mereka memperkenalkan diri. Suara bang Ian, bang Rahmat dan
bang Hanafi memenuhi ruangan aula dengan pengeras suara yang masing-masing ada
di tangan mereka. Kami pun di minta mencatat keperluan untuk mengikuti kegiatan
esok hari. Hum, belum juga di mulai Opaknya tapi kami sudah merasa di kerjain
oleh panitia. Kami di bagi menjadi 21 kelompok. Aku masuk kelompok 14 dengan
mentornya bang Ya’kub. Aku dan teman kelompokku banyak di ajak bang Ya’kub
sharing. Technical meeting itu berlangsung sampai jam 14.00 wib.
Terik matahari tak membuat luntur
semangatku, ditambah lagi dengan puasa semakin membuat api dalam dadaku
berkobar-kobar. Sepulang dari Kampus aku memutuskan untuk membeli persiapan
yang belum aku punya. Setelah apa yang aku pelukan dapat, aku pun langsung
pulang ke kos. Aku berbaring sejenak melepas lelahku. Hatiku basah mengenang
semua nikmat dan kasih sayang Illah yang begitu besar padaku. Tekadku semakin
bulat untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan yang telah Allah berikan kepadaku.
Anggap saja aku adalah santri di STAIN ini, merealisasikan apa yang selama ini
aku inginkan “Mondok”.
“Allahuakbar Allahuakbar” suara azan
berkumandang, aku melafkan hamdalah lalu berdoa sejenak sebelum berbuka.
Bukankah doa saat berbuka puasa sangan makbul, aku tidak ingin melewati
kesempatan itu untuk mendoakan kedua orang tua, adik-adikku dan juga diriku
sendiri. Aku minum seteguk air yang kusediakan. Hatiku basah. Tak tau,
tiba-tiba ada yang menyeruak dalam hatiku. Airmataku mengalir dengan derasnya,
teringat wajah ayah, ibu dan adikku. Namun aku segera beranjak shalat magrib
sehingga aku bisa lebih tenang jika sudah bersimpu di hadapan Penggenggam
Hatiku Allah Azza Wa Jalla.
Aku terjaga dari tidurku yang
lelap. Kulihat jam di Hand Phoneku menunjukan pukul 03.00 wib, aku langsung bangkit dari tempat
tidurku dan berwudhu menunaikan qiyamulail. Di keheningan malam, dalam sujud
panjangku. Aku memohon kepada Illahi Rabbi supaya dijaga dan dipelihara selalu.
Aku sadar disini aku sebatang kara, merantau. Berjuang mencari ilmu Allah.
Teman-teman kos dan teman-teman baruku lah yang menjadi keluargaku disini.
Setelah puas bersua, aku langsung menuju dapur memasak sayuran yang kemarin
sore aku beli. Aku sahur bersama teman-teman kosku. Rasanya khidmat sekali,
rasa kekeluargaan diantara kami terasa sangat indah.
Setelah shalat subuh, aku langsung
bersiap ke kampus. Kami di minta paling lambat pukul 05.00 pagi sudah harus
kumpul di depan gerbang STAIN. Sepeda motorku dengan kecepatan tertinggi
membelah jalan A.yani. Jalanan masih sangat sepi jadi bisa ngebut. Sesampainya
di tikungan jalan tepatnya jl. Suprapto aku diberhentikan oleh panitia, tampak olehku
teman-teman yang lain juga banyak yang terburu-buru. Cara maiannya adalah bagi
yang membawa sepeda motor di Jl. Suprapto harus diseret motornya sampai ke
tempat parkir STAIN. Yang jalan kaki langsung menuju kumpulan teman-teman, berbaris
di depan gerbang. Dengan semangat aku setengah berlari menyeret motorku. Hum,
belum lagi jika melewati barisan anak laki-lakinya di sorakin sama mereka.
Dengan seragam putih hitam, kaos dan sepatu hitam, papan nama dikalungkan dan
tas ransel hitam. Namun, tidak sama sekali membuatku malu aku tetap konsentrasi
memapah motor kesayanganku itu. Kuparkirkan ia dank u tinggalkan berkumpul
bersama teman-teman baruku. Menunggu perintah masuk dari abang-abang panitia kami bernyanyi bersama dipandu bang Munawir,
terlihat dari kejauhan teman yang lain masih ada yang menyeret motor. Ada yang
berlari. Setengah dibentak oleh panitia teman yang terlambat membentuk barisan
baru.
Untuk masuk gerbang juga ada
syaratnya lho. Harus hafal password yang diberikan sewaktu technical meeting.
Jadi setiap subuh selama 4 hari seperti itulah kegiatan kami. Menyeret motor, bisa saja diantar. Namun aku
tidak mau merepotkan teman kosku yang mereka juga punya kesibukan. Jika harus
diantar jemput setiap harinya selama ospek rasanya gak enak. Jadi kuputuskan
untuk pergi sendiri dengan resiko yah itu tadi menyeret motor.
Berbagai aktifitas yang kami
lakukan atas perintah panitia, hari pertama aku dan teman-teman di minta
berbaris di lapangan upacara. Aku mencari kelompok 14 dengan nama Opu Daeng Man
Ambun. Masing-masing berbaris menurut kelompoknya. Dan menampilkan yelyel. Hari
sudah mulai terang. Panitia sudah berdatangan semua. Satu persatu panitia
melihat perlengkapan kami. Ada yang dipatahkan papan namanya karena tidak
memenuhi syarat. Ada juga yang dihukum karena datang terlambat. Seharian penuh
kami banyak dilapangan hari pertama itu. Latihan upacara 17 Agustus. Setiap
harinya kami pulang jam 17.00 wib.
NOTE: Penggalan cerita dalam
buku ini sudah saya share: Sahabat, Ternyata Bukan Yogyakarta, Sang Teladan, Sentuhan
Rindu untuk Bapak dan Ibuku Tercinta. SEMOGA BERMANFAAT ^_^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar