Enam
Hari
Oleh:
Nurhani Gusrini
“Sungguh,
dia hafal mahar yang aku mau! Ar-Rahman & As-Saff!”
Siang
itu cuaca mendung, aku masih beritikaf di Mujahidin. Handphone genggamku
bergetar. “Mba, gimana, sudah dapat aktornya?” Aku langsung fokus dengan agenda
hari ini. Syuting film! “Sebentar, mba lagi usaha. Mhon doanya.” Balasku.
Allahuakbar,Allaaahuakbar.
Adzan Zuhur berkumandang, dan seluruh jama’ah bersiap-siap merapat menghadap
Sang Pemilik Kehidupan. Lagi, sms masuk. “Gimana mba, Ana dan teman-teman masih
siap-siap untuk keberangkatan kita ke lokasi syuting.”
“Iya sabar ya sayang, mba sudah coba
hubungi semua teman dan kerabat mba. Belum juga ada yang bisa menggantikan
aktor kita.”
Seketika aku teringat dengan laki-laki
yang tadi pagi menelponku dengan nada marah, gara-gara aku menyebutnya dengan
panggilan “antum”. Bissmillah, “Assalamu’alaikum, ...”
Cuaca
masih mendung. Aku bergegas menuju tempat yang sudah dijanjikan untuk start
bersama. Pemuda yang menyanggupi untuk membantu kelompok filmku itu sudah lebih
dulu datang, wajahnya serius. Diam. Aku memang sudah lama kenal ikhwan itu,
hanya saja baru kali ini interaksi langsung dengannya. Itupun karena mendadak.
“Sudah lengkap semua peralatannya Ca?” aku melempar pandangan dan pertanyaan
kepada Caca. “Siap mba, yuk berangkat!”
“Ada
apa ukhti?”
“Rantainya lepas, kami nyaris jatuh”
Jawabku sedikit cemas. Rantai sepeda motorku lepas, aku dan temanku si cainis
cantik memutuskan untuk meminta empat orang yang lain menunggu di tempat
syuting. Berhubung kami mengejar waktu yang begitu mepet. “Halo kak, motor adek
sedang dibengkel. Teman-teman sudah adek suruh datang duluan ketempat kakak
mempersiapkan semuanya. Aktor dadakan kami hanya bisa sampai jam 14.30 wib. Ada
agenda lain yang harus dikerjakannya.”
“Baiklah dek, hati-hati dijalan ya.”
“Sudah
dek,” Suara abang bengkel menyadarkan kami yang sedang duduk menunggu. “Oh, iya
bang. Berapa?” .... Kamipun langsung meluncur ke TKP. Belum lima menit, syuting
sudah dilmuali. “Kamera...Ation!” Sutradara gadungan memberi aba-aba. Iyulah
pertemuan singkatku dengannya. Entah apa yang membuatnya sungguh tidak terima
ketika aku membalas pertanyaannya dengan sebutan antum. “Tidak sopan!”
tegasnya. Iya aku memang lebih mudah dari dia, tapi aku juga pounya alasan kuat
untuk tidak memangggilknya dengan sebutan “Abang.”
Tidak mudah bagiku menghapus bayangnya. Setiap
aktifitasku selalu teringat dengannya. “Astaghfirullah...” kalimah itu yang
menguatkanku. Memang, aku yang sejak setahun lalu sedang menanti jodoh, setelah
sujud panjangku begitu juga aku dipertemukan dengannya. Dua hari itu memang
benar-benar membuatku layaknya orang yang sedang kasmaran. Nyaris tiga kali
sehari seperti minum obat, telpon genggamku bergetar. “Assalamu’alaikum, “ Telpon
dari pemuda tampan bergelar ikhwan itu yang selalu membuatku sibuk menjawab
pertanyaan yang diajukannya tidak lupa promosi usahanya. Aku masih menggap itu
hal yang wajar ketika pemuda soleh itu bertanya lokasi penyewaan ruko-ruko yang
berderet rapi dikampusku. Aku tahu dia seorang enterpreinur yang baik, mantan
qiyadah dan juga sangat menjaga diri.
Tiga hari kemudian, aku merasakan sesuatu yang sangat
berbeda. Ayahku menelpon sekaligus merestui jika ada yang akan datang
mengkhitbah, nenekku sedang sakit parah, ingin melihat cucu kesayangannya ini
bersanding dipelaminan. Allahuakbar, Ikhwan itu menyatakan perasaannya padaku
dan akan datang kerumahku untuk mengkhitbah. Dalam sujud panjang sepertiga
malam “Rabb.. Hamba mohon petunjukmu. Jika ini jalan yang terbaik, maka
mudahkanlah.” Pintaku. Aku dan dia memutuskan untuk langsung meminta saran dari
Murabbi kami masing-massing.
Aku pulang, mempersiapkan segala sesuatunya. Dan dia akan
menyusul esok hari setelah mendapat izin dari murabbinya.
“Afwan, antum hafal Ar-rahman?” “InsyaAllah.”
“As-Saff?”
“ InsyaAllah”
“Coba, tanpa melihat
mushaf!” pintaku. Dia langsung melantunkan ayat cinta itu, “Allaaahuakbar”
lirihku sambil mematikan telpon. kelopak
mataku tak mampu membendung derasnya aliran air bening yang berjatuhan di pipi.
***
Hari keenam. Cita-citanya ingin
menjadi Hafiz, dan akan terbang tahun depan ke Jakarta, dan memiliki syarat
yang sangat kongkret yakni dengan status single, belum menikah. Membuat kami
harus mengikhlaskan keadaan. Dan Mengakhiri proses yang sakral, mengharap keridhoanNya
dalam menyempurnakan Dienullah. Menikah. Seberapapun indahnya rencana kita,
Jauh lebih indah rencana Allah untuk kita.
subhanallah}:>
BalasHapus